Jumat, 08 Oktober 2010

7 Hari Keliling "Surga"




17 - 23 September 2010...

Untuk pertama kalinya, saya keliling Lombok. Seorang diri. Tujuh hari di luar rumah tanpa kontak sedetik pun dengan orang tua. Setelah pulang, barulah alasan bapak mengemuka, "Karena saya tidak ingin mengganggu Fatah. Biar fokus pada perjalanannya." Saya tersentuh dan itu salah satu ucapan bapak yang berkesan bagi saya.

Saya berani keliling Lombok sendirian karena terpengaruh oleh buku-buku traveling yang sejak tiga tahun lalu hingga sekarang menjadi santapan incaran saya. Saya terinspirasi oleh para penulis yang sekaligus pejalan itu. Mulai dari Marina Silvia K., Imazahra, Gola Gong, Andrea Hirata, Agustinus Wibowo, Trinity, Mata Tita, hingga Fadel Mohammad, dan penulis buku-buku panduan traveling lainnya seperti Sihmanto dan Rini Raharjanti. Merekalah yang selama ini menyuntikkan 'obat' agar saya melangkah keluar dari kamar yang nyaman. Berjalan-jalan. Menjelajah. Mencari 'sesuatu' di luar teks yang lebih dominan saya tekuni. Mengalami secara langsung.

Hingga, saya berkesempatan menghabiskan liburan semester di kampung halaman: Lombok. Bertemu sanak saudara, teman-teman. Bermain-main dan pergi berlibur dengan kawan-kawan yang datang dari Surabaya. Menghabiskan 19 hari magang di Lombok Post. Berpuasa sebulan penuh di Lombok (kesempatan yang langka selama 4 tahun saya kuliah di Tanah Jawa). Dan, seminggu setelah lebaran, saya pun mulai mengarungi Lombok: tanah kelahiran saya sendiri.

Tidak penuh jalan kaki. Karena saya juga dalam rangka bikin buku panduan jalan-jalan. Ditantang oleh seorang editor penerbit yang memang sedang giat-giatnya menerbitkan buku panduan jalan-jalan hemat. Berbekal modal Rp 600 Ribu, saya mulaikan perjalanan mengesankan itu.

Sekadar empat kilometer, masih bisa saya tempuh dengan jalan kaki. Tapi, sebisa mungkin saya juga tidak terlalu 'menyiksa' diri. Kalau memang ongkos kendaraannya murah, saya naiki. Meski terkadang, untuk makan, saya sedikit ber'ikat pinggang'. Pengeluaran saya paling banyak untuk penginapan. Andaikan ini jalan-jalan yang bersifat backpacking suka-suka, saya mungkin mengusahakan untuk tidur di, katakanlah: rumah penduduk atau tempat ibadah.

Baik, ini sekadar uneg-uneg saja. Sebelum saya melanjutkan kembali menulis buku saya tersebut. Doakan!

Rabu, 16 Juni 2010

Inspirasi Jalan Kaki dari Sepuh


Allah memang telah menggariskan semuanya. Tak ada yang namanya kebetulan. Diksi kita saja yang seringkali mengatakan, “Kebetulan aku lagi di sana…”, “Waktu itu aku lagi jalan sama dia. Kebetulan ada seseorang lewat…”, “Kebetulan dia yang mengajariku aritmatika saat SMP dulu…” dan berbagai kebetulan lainnya.

Saya sedang belajar untuk tidak mempercayai yang namanya kebetulan. Selalu ada alasan di balik semua kejadian. Kalau kau tidak menemukan alasannya, berharap saja untuk memungut hikmahnya. Setidaknya, itulah inti tulisan saya kali ini. Tentu saja, tetap dalam konteks berjalan kaki.

Pada hari Rabu, 9 Juni 2010, menjelang siang, saya ke Perpustakaan Pusat Kampus B. Berselancar maya di Ruang Publik lantai 1. Sekalian membaca-baca buku ‘Jerome Becomes A Genius’ karya Eran Katz. Saat masuk, saya sempatkan diri menengok papan informasi dan menemukan pamflet ‘Bincang Siang Bersama Wartawan Republika’. Saya sedikit abai, sebenarnya. Mengingat nanti sorenya ada kuliah Afrika dan berselancar maya saya memang bertujuan untuk mencari bahan bacaan mengenai topik yang akan dibahas. Tapi, bukan Fatah namanya jika tidak cukup impulsif dan bergegas mengikuti kata hati.

Acara yang menghadirkan Asep K. Nur Zaman – Pimpinan Perwakilan Republika untuk Jawa Timur – tersebut pun saya putuskan untuk mengikutinya. Ada beberapa alasan. Pertama, melihat antusiasme mahasiswa di Ruang Publik yang kurang terhadap acara tersebut. Mereka lebih asyik internetan juga diskusi – atau ngobrol nggak jelas? Kedua, saya pada dasarnya tertarik pada dunia jurnalistik dan bercita-cita menjadi seorang jurnalis, kelak jika lulus dari HI. Maka, acara semacam ini jelas cocok buat saya. Apalagi diadakan gratis, dapat sertifikat pula. Ketiga, saya waktu itu mengenakan kaos putih berkerah biru pemberian VOA Indonesia. Jadi, tepat sekali atmosfernya. Jurnalisme!

Setelah menunaikan shalat zuhur, pukul satu siang lebih sedikit, saya segera mengambil posisi lesehan paling depan. Persis di depan Pak Asep. Saat itu, hanya dua atau tiga gelintir mahasiswa saja yang saya temukan di meja sebelah saya. Padahal, saat mengisi lembaran registrasi, ada lebih dari lima belas orang yang mencatutkan namanya. Nyatanya, yang hadir hanya segelintir orang saja. Saya kurang tahu, apakah mereka yang bergerombol di meja-meja belakang juga adalah partisipan.

Baik, saya tidak akan berpanjang lebar mengenai isi bincang siang yang berdurasi satu jam tersebut. Namun, saya mendapatkan banyak ilmu, terlebih lagi mengenai koran nasional berbasis Islam tersebut. Mengenai sejarah pendiriannya, tawaran magang di Kantor Republika Perwakilan Jawa Timur, seluk-beluk profesi wartawan, kiat-kiat menjadi wartawan, dan sebagainya.

Nah, di akhir sesi, Pak Asep menjelaskan salah satu tips menjadi wartawan adalah selalu belajar pada senior. Beliau menyebutkan nama satu wartawan sepuh di Republika, yakni Pak Alwi Shihab. Pak Alwi ini berusia 90 tahun. Hingga saat ini – tuturan Pak Asep – beliau masih segar bugar, masih setia bertahan menjadi wartawan (penulis). Resepnya adalah “Beliau waktu muda suka jalan kaki. Kota Batavia telah dijelajahinya, masuk gang keluar gang. Beliau bahkan hafal gang mana yang tetap seperti sediakala, mana yang telah diubah.”

Sewaktu mendengar tuturan itu, saya terkesiap dan tersenyum bangga dalam hati. Bukankah saya memiliki satu kebiasaan yang sama dengan Pak Alwi Shihab? Saya pun berdoa semoga senantiasa sehat hingga usia tua nanti. Dan, tentu saja istiqomah dalam menulis. Amin Ya Robbal ‘Alamin.

Lihatlah. Saya tidak pernah berencana mengikuti bincang siang itu. Namun, saya yakin Allah menuntun saya ke perpustakaan. Menuntun saya melihat pamflet informasi bincang siang tersebut. Memantapkan hati saya untuk duduk manis dan bertanya-tanya antusias perihal dunia jurnalistik. Dan, siapa sangka jika saya akan mendapatkan informasi mengenai Alwi Shihab yang semenjak muda senang jalan-jalan kaki? Lalu, saya menuliskannya di blog ini?


*ilustrasi diboyong dari http://images.francisfrith.com/

Rabu, 09 Juni 2010

Wanna Be More Than A Walkpacker


Sebagai permulaan, blog ini memang khusus aku dedikasikan untuk diriku sendiri – sang pejalan kaki. Pejalan kaki yang bukan sekadar memiliki makna harfiah, namun lebih dari itu. Pejalan ‘kaki’ kehidupan. Aku tahu, ini terlalu filosofis. Tapi, aku tak akan menolak kefilosofisan itu. Bukan berarti aku bangga karena suka memikirkan sesuatu yang agak berat. Ini hanyalah menifesto bersyukurku atas pemberian Tuhan yang bernama pikiran.

Blog yang berisi sekumpulan catatan, renungan, entahlah namanya. Remeh-temeh kelihatannya sekilas. Jalan kaki. Apa yang menarik dari aktivitas keseharian itu?

Aku tak menyanggah kalau aku juga ingin melakukan perjalanan kaki yang lebih dari ‘biasa’nya. Aku ingin seperti Agustinus Wibowo – yang dijuluki The Explorer – dalam bukunya ‘Selimut Debu’. Aku ingin seperti Mbak Imazahra, seorang kawan di jagad blogoshpere, yang menginspirasiku dengan keberaniannya backpacking ke berbagai negara (beberapa hari yang lalu, dia baru saja balik dari Afrika). Aku juga ingin mencicipi – kalau bisa menapaktilasi perjalanan sutera seorang Marcopolo. Aku ingin merasakan petualangan perjalanan Trinity, Gola Gong, Marina Sylvia, Diah Marsidi, Andrea Hirata, Tony Wheler, dan semua pejalan yang namanya tidak kuingat – tercantum di sampul depan sebuah buku ataupun terpendam di lembaran-lembaran buku bertema petualangan.

Aku akan menjadi salah satu di antara mereka. Aku akan menorehkan namaku di situ.

Aku tahu kalau aku sedikit menyimpan iri pada Jamal, Dinda, Maria, juga Rani – keempat kawanku seangkatan di HI yang sedang dan sudah pasti akan berangkat ke luar negeri. Aku juga sempat ‘panas’ ketika mengetahui informasi bahwa salah satu adik kelasku di SMA yang kini berkuliah di HI UI, telah sempat menapaki Taiwan beberapa waktu yang lalu.

Bahwa yang harus aku sadari adalah: kesempatan itu belum datang padaku. Masalah mereka lebih pintar dan berprestasi alias di atas rata-rata, aku harus mengakui hal itu. Namun, bukan berarti pejuang mimpi sepertiku juga tidak bisa seperti mereka. Ini hanyalah masalah waktu dan usaha saja. Aku perlu menerapkan kata-kata mantra yang diucapkan oleh salah satu penulis favoritku, Ahmad Fuadi, “Going the extra miles!” AKU PERLU MELAKUKAN SESUATU DI ATAS RATA-RATA!!!

Aku sedang memotivasi diri. Sah-sah saja, bukan? Di saat aku ingin menggapai sesuatu dan merasa diriku belum berbuat maksimal, maka satu-satunya cara adalah melakukan sesuatu lebih keras. Karena aku ingin menjelajahi dunia, maka aku tidak boleh berpuas diri hanya sekadar menjadi pejalan kaki biasa. Semua orang telah melakukan itu. Nah, tinggal bagaimana caranya aku bisa menggunakan kedua kakiku ini untuk melakukan sesuatu yang tidak seperti biasanya. Tidak menapakkan kaki di rute yang biasanya.

Aku harus berani keluar dari zona nyaman!

Aku tidak boleh berpuas menjadi pejalan kaki biasa!

Karena ketika aku sudah berpuas, maka segalanya akan kandas!

Kandas berarti diam berarti mati.

Tidakkah kau marah pada dirimu saat itu terjadi?

Rabu, 26 Mei 2010

Kenapa Kamu Jalan Kaki?


Lama juga tak menapakkan kaki di blog ini. Menuliskan sesuatu yang terkait dengan berjalan kaki. Tak ingin blog ini jadi pajangan semata tanpa diisi dengan sesuatu yang berharga, maka saya pun mencoba meneteskan pikiran kembali.

Tak perlu basa-basi lagi.

Teman-teman kontrakan saya seringkali heran dengan ritual jalan kaki saya. Tak sekadar terlihat dari ekspresi wajah, tapi juga lontaran kata-kata.

"Kamu habis dari mana?"

"Gramedia."

"Pakai apa ke sana?"

"Jalan kaki."

"Itu lho ada motor. Kenapa nggak dipakai?"

Atau sebentuk percakapan seperti berikut.

"Kenapa kamu nggak bilang untuk dijemput?"

"Aku mau jalan kaki."

Atau seperti ini.

"Bro, aku berangkat dulu, ya!"

"Ini lho pakai motorku."

"Nggak usah!"

"Kenapa?"

"Aku mau jalan kaki saja. Ok? I'm okay, bro!"

Di satu sisi, saya orang yang termasuk seganan. Jika saya bisa lakukan sendiri, akan saya lakukan. Itu pula yang menyebabkan saya berani berkuliah di tanah seberang. Sebab, saya punya keyakinan, saya bisa mandiri. Bukan suatu hal yang perlu dibanggakan. Biasa saja. Meski sempat seorang teman perempuan yang menunjukkan binar kekagumannya pada kemandirian saya. Bagi saya, mandiri adalah keniscayaan. Tentu, bukan untuk menyombongkan diri bahwa saya tidak butuh orang lain. Namun, percayalah, mandiri akan membuat otak Anda selalu bekerja. Anda 'dipaksa' untuk memikirkan cara dan alternatif ini itu. Untuk kasus saya, saya menyukainya. Kalau Anda?

Hal lainnya adalah... saya ingin belajar mensyukuri karunia Allah yang terlimpahkan dalam hidup saya. Apa itu? Kaki. Seringkali saat berjalan kaki pulang dari kampus menuju kontrakan, atau dari kontrakan ke toko buku, saya bersyukur karena masih diberikan kaki yang sehat dan kuat. Saat mata saya bertumbuk pada loper koran di lampu merah Manyar yang kakinya cacat, saya membisiki diri saya, "Alhamdulillah... Aku masih punya kaki yang normal." Bukan untuk 'bahagia' di atas penderitaan orang lain, namun seringkali kita tersadar atas sesuatu setelah menemukan pembandingnya.

Lalu, saya juga belajar menyayangi bumi. Saya belajar banyak di kelas tentang global warming. Pemanasan global yang salah satunya diakibatkan oleh akumulasi karbondioksida di atmosfer. Penyumbang karbon ini, kalau bukan asap pabrik, paling banyak adalah asap kendaraan bermotor. Nah, saya belajar untuk mengurangi penggunaan sepeda motor. Well, tentu saja, di kala kepepet, saya bisa saja meminjam sepeda motor teman. Atau jika lokasi yang ingin saya tuju letaknya jauh dan ke sananya di siang hari yang terik a la Kota Surabaya. Namun, setidaknya, dengan berjalan kaki, saya bisa mengurangi sumbangan karbon yang menyiksa bumi kita ini.

Dan, bukankah jalan kaki itu juga menyehatkan???

Meski badan saya kurus dan tetap suka berjalan, saya tak risau akan hal itu. Yang penting, saya sehat.

Bagaimana dengan Anda?

*Gambar dicungkil dari www.wallgau.de*

Kamis, 18 Maret 2010

Kala Berjalan, Saya Biasanya...


Saya beruntung punya dua kaki. Saya masih bisa menggunakannya untuk berjalan. Hingga ketika saya terkadang mengeluh harus berjalan kaki cukup jauh di siang terik - atau harus berjalan di malam hari dengan kondisi tubuh capek - saya bisa kembali mengingat kata-kata saya tersebut. Untung masih punya kaki. Bisa ke mana-mana dengan bebas. Bayangkan mereka yang tidak punya. Sungguh, nikmat Tuhan manakah yang hendak kita dustakan?

Kulit saya memang menjadi semakin 'manis' kelihatannya. Meski peluh jadi teman, tak apalah. Itu bukti bahwa saya masih sehat. Saya bisa berkeringat. Metabolisme tubuh saya berjalan dengan baik.

Oke, terkait dengan judul di atas, apa yang biasanya saya lakukan saat berjalan kaki? Banyak! Apalagi kalau dirunut satu per satu secara mendetil. Namun, saya hanya akan menyebutkan beberapa aktivitas yang paling sering saya lakukan. Ini dia.

Menengok kiri-kanan
Istilahnya 'nggak banget' ya? Hehehe... Menengok kiri-kanan ini, kurang lebih maknanya adalah cuci mata. Tentu saja, selama di jalanan, akan banyak pemandangan yang saya temukan. Meski terkadang rute yang saya lalui itu-itu saja - terutama kampus-kontrakan - namun, tidak selalu sama pemandangan yang saya lihat. Rumah-rumah penduduk memang terlihat sama dari hari ke hari. Akan tetapi, orang-orang yang saya jumpai di jalananlah yang berbeda. Sekaligus pemandangan, juga referensi pengamatan.


Menarik napas

Ini juga sebenarnya kriteria yang tak begitu penting diungkap. Sudah pastilah, saya berjalan sambil bernapas. Akan sangat mengherankan jika saya berjalan tanpa bernapas. Apa komentar orang-orang??? Hehehe...


Bernyanyi

Inilah kegiatan yang sering saya lakukan. Bersenandung, bahkan teriak-teriak bernyanyi. Saya memanfaatkan bising kendaraan di sekitar saya untuk menyalurkan bakat menyanyi saya itu. Kok bisa? Bisa saja! Apalagi kalau misalnya saya menyanyikan lagu-lagu bernada tinggi, saya terbantu sekali oleh suara kendaraan yang ramai hingar-bingar. Suara saya tersamarkan. Saya bisa mencapai oktaf tertinggi, sekemampuan saya. Itu sebuah pencapaian. Arena bernyanyi gratis yang cukup menyenangkan. Hahaha...


Mengamati

Tak afdol jika berjalan kaki tanpa mengamati. Kira-kira samalah dengan poin pertama. Namun, mengamati ini saya lakukan sekaligus riset manusia. Tindak-tanduk manusia. Saya bisa tertawa-tawa sendiri saat menyaksikan orang berpolah lucu. Saya pun bisa merenung - mensyukuri hidup - saat melihat orang bernasib di bawah saya. Saya bisa berpikir tentang masa depan, masa lalu, bersemangat meraih ilmu, mengenang orang-orang yang pernah mampir dalam hidup saya - hanya gara-gara mengamati orang-orang dan pemandangan yang saya amati di jalanan. Dengan berjalan kaki, saya pun memiliki jeda agak lama untuk memikirkan hal tersebut. Sebuah hal yang jarang bisa dilakukan oleh orang-orang yang selalu dikejar oleh kesibukan dan waktu. Saya ingin menikmati hidup. Itu saja.

Hmmm... Apalagi ya? Kalau Anda, bagaimana? Sekiranya bisa berbagi di sini.

Tabik.

*gambar diculik dari http://www.biosphere-expeditions.org*

Rabu, 03 Maret 2010

Renungan Pejalan


Bagi sebagian orang, pohon hanyalah makhluk pasif yang hanya mengenal sepi. Tetapi bagi pejalan-pejalan kaki jenis tadi, pohon adalah wakil-wakil suara keikhlasan.

Bagi banyak orang, bintang di malam hari tidak lebih dari tanda tiadanya sinar matahari. Namun bagi soul traveler, ia hanyalah cara sang maha tinggi untuk menyelimuti.

Bagi kebanyakan orang, sungai tidak berkata-kata apa pun. Namun bagi pencinta-pencinta kepekaan, ia adalah guru kekuatan tak tertandingi yang bernama kelenturan.

Bagi tidak sedikit manusia, batu hanyalah benda mati yang tidak peduli. Tapi bagi sahabat-sahabat kejernihan, ia adalah lambang kekuatan dan daya tahan.

Bagi sejumlah orang, gunung tinggi hanyalah fenomena alam yang teramat biasa. Namun, bagi pemberani-pemberani di atas pikiran ini, ia adalah guru kebijaksanaan yang senantiasa berbisik: bila gunungnya tinggim jurangnya juga dalam.

Pada kehidupan sejumlah orang biasa, setiap tarikan napas hanyalah gerakan-gerakan tubuh yang memperpanjang eksistensi. Bagi pencinta-pencinta kejernihan, setiap tarikan napas adalah rangkaian keajaiban. Disebut keajaiban, karena bernapas adalah kegiatan terpenting dan pada saat yang sama dilakukan secara free of charge, gratis.

(Gede Prama; Jalan-Jalan Penuh Keindahana; hal. 125-126)


*gambar ditarik dari http://travelhouseuk.wordpress.com*

Senin, 01 Maret 2010

Pejalan dan Penampilan


Karena sewaktu bersekolah dasar saya terbiasa jalan kaki dari dan ke rumah, maka bukan suatu keheranan jika rambut saya menjadi sedikit memerah dan kulit yang agak kecokelatan. Tidak sampai gosong. Namun, cukup membuat saya menjadi tidak percaya diri dengan keelokan tubuh yang telah Tuhan anugerahkan. Minder pada anak-anak yang lebih tampan, seperti itulah.

Dan, ketika di SMP, ada teman yang iseng atau memang sengaja melontarkan tanya. "Tah, rambutmu dicat, ya? Pakai air keras, gitu?"

Saya nyengir saja. Bisa dibilang, itu pertanyaan yang agak menohok. Entah kawan itu sengaja ingin memalukan saya ataukah karena memang dia tidak tahu. Tapi, kecurigaan saya lebih menjurus pada: MEREKA SENGAJA. MENGEJEK PENAMPILAN SAYA YANG TERBILAS DAN TERGILAS SINAR MATAHARI TERLALU SERING.

Pertanyaan mereka itu pada dasarnya juga berakar dari sosok salah satu kakak laki-laki saya. Inisialnya, J. Kakak saya tersebut cukup terkenal di kalangan anak muda di kota kecil kami karena kebengalannya. Bengal? Pergaulannya memang dengan anak-anak yang suka balapan liar dan memreteli motornya hingga nampak aneh. Ada pengejaran pretise bagi dirinya di komunitas tersebut. Mungkin pula sebagai bentuk berontaknya pada aturan dalam keluarga.

Nah, selain hobi balap dan teman-teman SMP saya cukup banyak yang sehobi dengannya, dia juga pernah mengecat rambutnya. Di dalam masyarakat kami, anak yang bercat rambut, entah kuning, merah, apalagi warna-warna ngejreng lainnya, diidentikkan sebagai anak nakal.

Sudah identik dengan anak nakal dan saya kebetulan adiknya, maka saya pun dikira nakal. Itu pun prasangka saya terhadap komentar teman-teman, tidak seratus persen benar. Sebab, mereka tahu sendiri kalau saya termasuk anak yang pendiam, rajin belajar, dan manutan. Cuma, penampilan luar sedikit menipu. Rambut di bagian depan agak kemerah-merahan.

Sungguh! Bukan karena sengaja aku cat. Aku bukan tipe seperti itu. Justru, aku sangat tidak percaya diri dengan tampilan rambut seperti itu. Aku lebih suka berpenampilan alami. Sederhana. Bersahaja, kalau bisa.

Itu juga gara-gara intensitasku yang lumayan tinggi terpapar oleh sinar matahari. Sejak kecil suka bermain-main di luar. Sawah, jalanan, sungai. Penampilan yang tidak kujaga itu pun tentu saja melekat, terbawa sampai SMP. Sampai aku sadar untuk merawat rambutku sehingga pernah memakai sampo yang khasiatnya untuk menghitamkan rambut. Tak berhasuil. Tak ada efeknya. Keinginan menghitamkan rambut justru menimbulkan efek lain. Rambutku menjadi kusut. Keritingnya semakin ikal. "Kalau lalat dimasukin ke rambutmu, pasti bakal tersesat!" goda teman saya. Saya pun tertawa. Meringis, tepatnya.

Hari demi hari berlalu. Di SMA, saya sempat alergi jalan. Sebab, ada motor pemberian orang tua. Ke sekolah, ke rumah kawan, dan ke mana-mana, menjadi lebih sering dengan motor. Saya agak terawat, secara alamiah. Berjaket juga menjadi lebih sering. Biar tidak kena angin. Biar tidak tersengat terik matahari.

SMA lewat. Masa kuliah pun tiba. Dan, seperti sebuah siklus. Saya justru menjadi lebih suka berada di bawah tiupan matahari. Agak tidak hirau pada kesehatan kulit, mungkin iya. Namun, di sisi lain, saya merasa kembali menemukan kenikmatan dengan anugerah yang dilimpahkan Tuhan melalui matahari, angin, bintang, rembulan, dan kawan-kawannya. Dan, seakan-akan, saya rela untuk berada di bawah terik mentari. Ada semangat pejalan yang muncul di situ. Semangat meresapi dan berkawan dengan alam.

Pejalan dan penampilan?

Sinkronkan saja!


*gambar diculik dari www.gettyimages.com*

Minggu, 21 Februari 2010

[Puisi] Novel Sebiji, Snack Segenggam


Aku berjalan,
mengikuti arus malam,
di pundak tersampir jaket hitam,
tertenteng di tangan kanan,
sebuah helm berisi
novel sebiji,
snack segenggam.

Di bentara elit perumahan,
kuputuskan menyesatkan diri,
membiarkan langkahku menyusuri,
hingga dua anjing tertarik menggonggongku,
merengsek ingin merobek pagar.

Aku takut galaknya anjing.
Bukan anjing galak.

Keringat mulai terbubuh di punggung,
kaosku basah,
padahal sepoi angin menerpa,
ingin halau gerah.
Takkan bisa, pikirku.
Sebab, pentol-pentol bakso kepala sapi,
yang kumakan setengah jam yang lalu,
sedang terolah menjadi energi,
oleh gerakku.

Kuberjalan di sisi sungai, kini.
Jika ke kontrakanku,
tinggal seberangi jembatan itu!
Namun, aku memilih melewatinya.
Terus mengukur jalanan kampung
(bukan elit perumahan lagi).

Aku menuju warung.
Warung internet.
Mengeposkan ketikanku di ponsel ini
ke blog-ku.


*gambar diangkut dari http://whitemonkeynewsbureau.wordpress.com/ *

Rabu, 10 Februari 2010

Mengejar Toko Buku


Saya pernah berjalan ‘cukup’ jauh pada malam hari hanya untuk mengincar sebuah toko buku. Apa istimewanya toko buku tersebut?

Jadi, sekitar bulan Desember 2009, saya mendapatkan kesempatan untuk mengunjungi Jakarta. Dalam rangka penyerahan hadiah lomba karya tulis bidang kearsipan yang diadakan oleh Arsip Nasional RI. Lokasi acara adalah Jakarta Selatan.

Sementara itu, saya baru sadar kalau toko buku yang selama ini saya ‘baca’ gaungnya di dunia maya ternyata ada di Jakarta Selatan. Saya tidak sengaja menemukannya ketika berada di dalam taksi menuju Blok M, saya tidak sengaja menengok ke arah kiri dan mata saya bersirobok dengan plang MP Book Point.

MP Book Point?

Waaaah…

Saya langsung berseru pada dua teman – sesama pemenang karya tulis - yang duduk di belakang saya. Tapi, mereka tidak begitu hirau. Sepertinya tidak begitu antusias – bahkan bisa jadi – belum mendengar MP Book Point.

Karena tujuan kami bukan ke situ, sehingga saya pun menancapkan janji untuk ke toko buku tersebut sebelum hengkang dari Jakarta!

Mulailah saya memutar balik ingatan saya mengenai rute yang telah kami tempuh sejak naik taksi hingga lewat di depan MP Book Point. Well, tidak terlalu jauh. Apalagi kalau dari depan ANRI. Bisa ditempuh dengan jalan kaki, desis saya dalam hati.

Keesokan harinya, tepatnya sehabis Isya, saya pun keluar dari penginapan. Sendirian saja. Sebab, tiga teman penginapan saya telah berangkat pulang ke daerah masing-masing, yakni Purwokerto dan Jombang. Saya sendiri berencana pulang ke Surabaya dua hari berikutnya. Sebab, saya masih ada sejumlah agenda, di antaranya: menonton film Sang Pemimpi dan kopdar dengan teman multiply. Mengunjungi MP Book Point juga!

Saya mengisi perut dulu di sebuah warung kemudian mulai menyemburkan radar saya, menelisik alur yang sekiranya akan saya tempuh. Saya memerhatikan angkot yang melalui jalan yang memang dilalui oleh taksi kami pada malam sebelumnya.

Perjalanan kaki saya pun dimulai – untuk sebenar-benarnya mencari keberadaan MP Book Point. Saya hanya perlu mengikuti insting dan peta jalan yang tergambar di dalam kepala saya. Taksi imajiner yang kemarin saya tumpangi mulai berjalan pelan-pelan di memori saya seiring derap langkah kaki saya.

Awalnya, saya menyusuri jalan tak bertrotoar. Cukup tipis jarak badan saya dengan mikrolet yang melintas. Sebab itu, sesekali saya menoleh ke belakang, memastikan antara mikrolet dan saya berjarak aman.

Di ruas jalan yang bertrotoar, saya pun tidak menyia-nyiakan ‘nyawa’ saya. Mencari posisi yang aman dengan mematuhi aturan bagi pejalan kaki. Tas kain cangklong warna putih makin saya kepitkan. Isinya sebuah handycam. Saya berniat memotret eksterior dan interior serta sudut-sudut menarik lainnya dari MP Book Point. Sepatu pantofel hitam – pinjaman dari teman kontrakan – pun saya derapkan di trotoar. Serasa saya seorang turis yang menikmati jalan-jalan kakinya sekalipun itu menyusuri jejalanan raya yang mungkin pada siang harinya sungguh melelehkan minat dan memanaskan kepala.

Saya terus jalan. Ketika menemukan persimpangan, saya menuruti kata hati untuk memilih belok kanan. Ya, sesuai jalur mikrolet. Di kiri kanan jalan yang saya lalui, bukan pemandangan ruwet nan padat yang saya temukan – seperti yang selama ini disematkan pada ibukota. Beberapa rumah masih ‘memeluk’ pepohonan dan bebungaan. Saya bahkan sempat terkesima sejenak pada sebuah rumah yang memiliki toko bunga di depannya. Ada kesegaran mencuat di situ.

Saya tengok jam di ponsel. Mendekati pukul delapan.

Berapa lama lagi ya?

Sebentar lagi. Pasti sebentar lagi. Begitu hibur saya pada diri sendiri.
Becek-becek tanah di pinggir jalan akibat hujan tadi siang yang masih menyisakan gerimis, beberapa kali hampir menjebak sepatu saya. Karena tidak sepanjang jalan diterangi sinar lampu, baik lampu merkuri ataupun neon yang terpasang di depan rumah penduduk, saya pun berusaha untuk menajamkan mata agar kaki sebisa mungkin menjejak
di atas material yang padat.

Saya tidak menjumpai gemintang di atas kepala saya.

Dari kejauhan, saya melihat tanjakan. Hmmm… MP Book Point pasti berada di balik tanjakan itu, pikir saya. Sugesti pada diri sendiri itu membuat saya makin bersemangat. Dari langkah-langkah biasa menjadi lari-lari kecil. Saya sudah bersiap sedia untuk senang beberapa saat lagi. Senang karena akan menemui surga buku. Senang karena toko buku yang cukup terkenal itu – paling tidak, terkenal di dunia maya – akan saya hampiri, masuki, dan eksplorasi tiap sudutnya.

Saya memang senang bermain di toko buku. Laksana menemukan rumah kedua. Di beberapa kota yang pernah saya singgahi, saya senantiasa menyempatkan diri mengunjungi toko bukunya. Gramedia Botani Square di Bogor; Togamas, Tisera, Gramedia, dan Wilis di Malang; penyewaan buku di Pare, Kediri; Togamas, Gramedia, Karisma, Blauran, serta toko buku Manyar di Surabaya; dan sekarang MP Book Point di Jakarta. Beberapa minggu kemudian, ketika berkesempatan jalan-jalan ke Jogjakarta, saya pun tidak menyia-nyiakan kesempatn ke Gramedia Malioboro Mall dan Shopping (nama pusat buku murah) dekat Taman Pintar.

Ternyata, saya harus menahan kesabaran sedikit lagi ketika menjumpai MP Book Point masih berjarak puluhan meter lagi dari puncak tanjakan yang saya pijaki. Dari seorang teman, saya mendapat informasi kalau toko buku tersebut buka sampai jam 9 malam. Berarti, saya hanya memunyai sekitar 1 jam untuk menjelajahi toko buku tersebut. Saya makin mempercepat langkah.

Beberapa meter, akhirnya, mata saya bersitatap dengan kotak neon MP Book Point. Saya tersenyum lega, tentu saja.

Handy-cam pun saya keluarkan dan mulai mengambil gambar.

Saya senang. Senang sekali. Hasrat saya mengunjungi ‘rumah kedua’ tercapai juga. Ditambah lagi kesenangan pada siang harinya di mana saya menerima hadiah uang. Bisa saya pakai belanja buku!

Jam 9 tepat, saya pun keluar dari MP Book Point. Dua buku ‘tebal’ telah berhasil saya ‘gondol’. Saya meledak. Senang. Meskipun harus kembali berjalan kaki lebih satu kilometer. Menuju penginapan. Dan tidur pulas dengan senyum tersungging.


*gambar disabet dari www.projectwomen.com*

Senin, 25 Januari 2010

Walking in the Rain


I felt stranger when I used a set of raincoat and walked in the rain from my boarding house to college.

Is it sound peculiar?

Hahaha…

Indeed. This afternoon felt different for me. I’m like one of seven sleepers who had just woke up from my so-long-sleeping. Yeah, because, more than 12 hours I spent in my boarding house without going out. I wake up so late this morning. Then, washed my laundries and prepare my noodle-breakfast. Oh, I found no rice in the jar. Damnit!

But, I have to thanks to God due to His blessing for me. I’m still alive! I’m still breathing. I’m still able to hear, see, and taste. It’s really enough, isn’it?

Well, I think this intro is too long to tell.

I want to jump to the main topic as the title of this blog. Walkpacking-point-of-view.

Some messages came into inbox. It’s from my college friend, Hariyono. He told me my METAN mark. Alhamdulillah, I got “B”. I was really happy for that. It is not so bad, I think. Only Rani in my class who got “A”. Jamal, the smartest student I so-far-known was just got “AB”. Oh, you know what? METAN is the most difficult subject I faced in this odd semester.

Then we talked about SUSI application forms. Yeah, surely I had completed all of requirements needed. Though, I still was waiting for recommendation letter from my Dean, Mr. I Basis Susilo, but I thought I had to send the application today. I don’t want to wait till tomorrow. Because, I felt bored to go to college everyday in this holidays time.

“I will go to college at 3 p.m.” I said to Hariyono.

“Why?” He asked.

“I don’t want to be captivated by free-internet-access in college that made me has to be sitting down for long hours. I also am reading my books!”

After praying ashar, I fulfilled my promise to come to the college. I saw the sky was so cloudy. “Well, it is gonna be heavy rain!” I said to myself. “But, hey! I have to go to college. I need free-internet-access. I want to check some of my accounts. And, the most pivotal thing is sending my application form!” Hahaha…

I knew that my laugh is unreasonable. Several seconds later, I heard the “tik-tik-tik” of rain’s sounds at the roof of my boarding house. I immediately looked for an umbrella, but I didn’t. “Yes, I have to go!” I yelled to myself.

So, I took raincoat that hung up in the wall.

I wore it and felt it was fit for my skinny body.

And I started to walk in the heavy rain.

Some children who were playing in path way-front of their houses, looked at me with peculiar sight.

When I passed them, I know one of them was following my steps. I did not want to turned my body back. Yeah, I thought that child was just do it for fun. Meanwhile, when I passed in front of some adults I found in the way, I did not want to see them. Yeah, I could felt the strange-sight-seeing from them. So, I did not need to look at them back. I straight to walk and walk in the rain with my blue and gray raincoat and also my blue-plastic sandals. Hehehe… They were totally match!

I walked and walked while enjoying the rain. It was not heavy anymore. So, I don’t need to be trapped in a very wet condition. Some drops of the rain spotted to my face. I enjoyed its freshnes.

Truly, when people looked at me, I felt I wore a miss-costume. I also felt not comfortable, actually. Furthermore, my side-bag seemed swollen in my right side of my skinny body. Oh… really, I did not ready to be famous! Hahaha…

But, I made myself tougher and tougher. And when I saw some men and women wore such-kind-of same raincoat, I felt more OK. Yeah, I have twins! Hahaha…

15 minutes then, I arrived at my college.

But, the problem relate to my confidence was not finished yet.

So, I immediately walked to behind of Building D of FISIP and took off my raincoat and put it into the red plastic bag I have prepared from boarding house.

Yes, finally my problem is finish!

Now, I can breathe comfortably!

*picture is taken from http://trackmixes.blogspot.com/*

Sabtu, 23 Januari 2010

Flash Back


I'm trying and still learning write in English. So, if in the midst of my writing you find something disturb you or make you nod your head, just please apologize me :) I will never know my English writing skill until trying it.

Here, I will tell you several of my walkpacking experiences. I will write them just like flash back and brief stories, so here we go...

I started seriously (?) walking when I had just been in junior high school. At that time, I had to walk about more than 1 km from home to my school, SMPN 1 Selong. Actually, my older brothers can deliver me by motorcycle, but yeah...my relation with them was just like ice. Frozen. I also wanted to prove that I was enough independent to go to school by myself. Though, when I arrived at home in the daylight's end (I school at noon), I used to have dinner first and got sleep.

I did this more than one year. Yet, it was not fully like that. Sometimes, if I felt I would be late, I asked my big bro to deliver me. Hehe...

Second, I did serious walkpacking when I have just accepted to study in Malang, a cool city in East Java. I didn't bring my motorcycle from Lombok. It caused by so many consideration. One of them was because I was newbie in Malang. I still did not know many aspects about Malang. So, it made me take decision to stay near from my small campus in Jalan Pekalongan Dalam. So, I just need 5-7 minutes to walk there.

*well, I have to skip my note because the library keeper command me to stop netting* hehehe

Alright, after many hours I have been hibernating myself at my private room, now I would like to continue this note.

During I had been in Malang, I used to go everywhere on foot. But, if the destination is far enough, I used public transportation which called "LYN". While, for some of my favorite place, such as Malang Town Square, Brawijaya University (just looked around there), or my very lovely book store: Togamas in Dieng, I used to walk. Not only to save my money that I used to buy food or books, but also I wanted to enjoy my journey. It surely could erased my crowded mind which fulled by courses at my campus.

Yeah, I think my experience in walking when I was in Malang was not as interesting as in Surabaya. Why?

I will tell it in another time.

So, I'm leaving now.

Thanks for reading.

I'm happy if you're not mind to leave comments here.... :)


*picture is taken from http://www.clker.com/clipart-9664.html*

Jumat, 22 Januari 2010

Kenapa Walkpacking?


Istilah yang baru kita dengar atau baca, seringkali membuat kening berkerut dan bertanya-tanya, "Ini artinya, apa?" atau "Maksudnya?". Namun, bagi Anda yang gemar bermain kata, mencoba menerka sebuah istilah baru, sungguh mengasyikkan. Nah, kalau begitu, bisa Anda artikan kan walkpacking itu, apa?

Yang suka traveling atau backpacking pasti sudah bisa menemukan artinya. Yup, walkpacking merupakan gabungan dari dua kata: 'walk' dan 'packing'. Walk berarti, berjalan. Packing berarti, menyiapkan barang-barang di tas. Singkatnya, walkpacking artinya berjalan-jalan (kaki) dengan bawaan. Halah. Kacau nih interpretasi saya. Hehehe...

Yang membedakannya dengan backpacking, apa? Ada dong! Kalau backpacking, biasanya bepergian ke suatu tempat (biasanya situs wisata) dengan ciri-ciri: ransel di punggung, bisa jalan kaki atau dengan kendaraan umum tertentu asalkan ekonomis, dan biasanya sih murah meriah. Backpacking sedang jadi 'demam' sekarang. Ngetren. Tengok saja buku-buku yang mengisahkan para backpacker yang sekarang punya rak khusus sendiri di toko-toko buku. Setelah itu, muncul gelombang orang-orang yang juga ingin melakukan backpacking. Termasuk saya! :)

Lantas, karena hingga saat ini, jejak rekam backpacking saya masih belum begitu banyak, maka penamaan itu pun saya ganti dengan walkpacking. Mengapa? Sebab, saya lebih sering melakukan aktivitas ini. Berjalan kaki, bukan untuk ke situs-situs wisata, melainkan terkadang untuk sesuatu yang tidak jelas. Ya, sekadar berjalan kaki saja. Saya pun sepertinya perlu berterima kasih pada Hariyono, teman saya, yang telah menginspirasi dengan membuat istilah ini :)

Kenapa walkpacking?

Karen saya suka jalan-jalan (kaki). Seperti yang telah saya jelaskan pada tulisan sebelumnya. Saya menyukai aktivitas ini dengan 'terpaksa' sejak kuliah di Tanah Jawa. Kok, bisa? Ya, karena saya memang tidak diberikan izin oleh bapak untuk membawa sepeda motor. Bisa saja saya memaksa sehingga hati bapak luluh dan izin pun keluar. Tapi, saya mulai berpikir ulang mengenai resiko, biaya, sampai akhirnya pada pertimbangan lingkungan (lebih tepatnya, isu pemanasan global). Akhirnya, saya pun tidak 'ngebet' agar dikirimkan sepeda motor. Justru, saya ingin bersepeda ontel saya. Hingga menunggu dana terkumpul, ya...cukup berjalan kaki saja.

Kenapa walkpacking?

Karena saya punya dua kaki yang ingin saya manfaatkan seoptimal mungkin. Saya baru saja teringat untuk menuliskan alasan ini. Namun, sebelum-sebelumnya, ketika saya terserang penyakit malas berjalan (terlebih lagi, malas olahraga) sehingga bergantung pada keberadaan sepeda motor, saya pun berpikir, lama-lama saya tidak akan kuat berjalan. Apalagi karena saya memang memendam cita-cita untuk keliling dunia. Nah, jikalau saya tidak melatih kedua kaki saya untuk berjalan lebih aktif lagi, bisa saja saya akan cepat kelelahan hanya untuk menempuh jarak 2 km. Itu ingin saya hindari.

Kenapa walkpacking?

Ini kegiatan murah meriah. Berjalan kaki. Aktivitas yang remeh kelihatannya, tapi sempat membuat saya bangga oleh iklan sebuah susu formula di televisi. Berjalan kaki 1.000 langkah bisa mengurangi resiko terkena osteoporosis. Yup!!! Saya ingin mencegah hal itu terjadi pada saya, meskipun resiko terbesarnya menyerang perempuan. Tidak ada salahnya. Apalagi ini tidak berbayar. Hanya capek saja? Ya, tapi kan bisa diganti dengan men-charge lewat asupan makanan dan minuman. Kalau misalnya Anda malas berlari-lari atau melakukan kegiatan di gym, berjalan kaki di sekitar kompleks perumahan bisa menjadi solusi.

Kenapa walkpacking?

Anda punya alasan sendiri? Feel free to share here! :)


*gambar dicomot dari http://www.newscientist.com/*

Kamis, 21 Januari 2010

Tinta Pejalan


Saya sengaja membuat blog ini. Khusus untuk menampung catatan perjalanan saya. Yeah, saya memang gandrung jalan-jalan. Meski terkadang, harus menunggu momen tertentu untuk melakukan itu. Sebab, saya juga pecinta ruangan. Apalagi jika telah dibekuk oleh tumpukan buku-buku. Maka, saya pun tertawan, duduk, atau tiduran. Namun, itu juga ampuh membuat semangat saya untuk berjalan-jalan. Mencari angin segar, mencari hingar-bingar, mencari pemandangan yang berbeda, mengusir kebosanan, juga menangkap inspirasi yang berkeliaran.

Memang, tidak semua catatan dalam blog ini akan memuat perjalanan saya yang istimewa. Istimewa dalam artian, perjalanan dengan menggunakan pesawat atau transportasi kelas eksekutif. Namun, saya mencoba menangkap renik-renik, meski itu sekadar berjalan kaki. Mungkin berjalan kaki dari kontrakan ke kampus, berjalan kaki dari kampus ke stasiun, atau berjalan kaki masuk gang keluar gang.

Sebab, perjalanan adalah proses, bukan tujuan...

Nah, dalam proses itu, saya yakin akan banyak hal menarik yang bisa saya dapatkan. Mungkin sehelai inspirasi yang tiba-tiba melayang tatkala saya memandangi titik air yang jatuh dari pinggiran atap rumah penduduk. Mungkin pula sentilan peristiwa masa lalu yang bisa menguatkan saya dalam menghadapi masalah saya saat ini. Atau saya bisa bernostalgia saat melihat anak-anak kecil bermain riang sepanjang gang. Saya anggap itu anugerah. Pemberian yang tak ternilai. Mungkin terlihat sepele, namun saya akan mencoba terus menggalinya lebih dalam lagi. Bukankah, seringkali hal sepele itu jika disepelekan, justru akan menjerumuskan? Nah, sebelum terjerumus, tidak ada salahnya untuk mengikat maknanya dan menggunakannya untuk membebaskan kita dari beragam belenggu?

Saya juga percaya pada adagium 'verba volent scripta manent', bahwa tulisan itu akan lebih mengabadi daripada sekadar ucapan lewat mulut. Tulisan juga harta karun yang dengan pasti bisa saya wariskan pada anak cucu saya. Saya tak bisa menjamin harta kekayaan yang melimpah ruah. Sebaliknya, saya memiliki harta berupa tulisan yang bisa saja digali untuk mendapatkan materi.

Saya, kembali memulai perjalanan khusus itu melalui blog 'walkpacking ink' ini.

Selamat menikmati.


*gambar dipungut dari http://fineartamerica.com*