Kamis, 13 Januari 2011

Telusuri Rel Kereta Api




Rel.
Jalur kereta api.
Menelusurinya menyimpan kenangan tersendiri. Sebab, pernah aku lakoni sewaktu pulang dari Wonokromo ke kosku di Gubeng Jaya. Jauh??? Lumayan. Tak hitungku kilometernya. Yang pasti, bagi arek Suroboyo, bisalah membayangkan jauhnya.

Sebab apa aku jalan kaki di atas rel? Iseng belaka dan coba-coba. Padahal aku bisa naik angkot, tapi entah kenapa ide menelusuri rel terkesan oke. Ya, aku masih muda dan suka mencoba hal-hal baru.

Saat itu, sehabis keluar dari rumah seorang teman di Wonokromo, aku niat jalan kaki ke Terminal Joyoboyo. *Intermezo: di terminal inilah grup musik Klantink - pemenang Indonesia Mencari Bakat - mengawali kesuksesan mereka sebagai pengamen* Sampai di sana, angkot belum ada yang hendak berangkat. Mumpung masih pagi, udara Surabaya masih bersahabat, matahari juga belum terik, aku pun memutuskan meninggalkan terminal dan mulai berjalan kaki ke arah Kebun Binatang. Menyeberangi jembatan di atasnya dan 'mengukur' trotoar ke arah Taman Bungkul. Dengan mengandalkan insting, aku pun sengaja menyesatkan diri di gang-gang kecil dengan patokan bahwa aku akan menemukan CCCL. Benar!!!

Menyeberangi jembatan di atas Kali Darmo, terus berjalan ke timur hingga bertemu rel kereta api melintangi jalan raya. Impulsivitas pun mencuat. Ambil kiri, susuri rel kereta api.

Aku coba berjalan di tepian rel berbahan baja hitam. Belajar keseimbangan. Sesekali terpeleset ke kerikil. Kembali menahan keseimbangan. Tentu saja, dibarengi dengan berpikir, merenung. Hingga tecetus, aku bisa sampai di kota-kota lainnya dengan jalan kaki menelusuri rel. Entahlah, aku belum berniat untuk menjalaninya. Terbayang kaki ini akan gempor hanya untuk berjalan kaki dari Surabaya ke Malang. Malang, kota yang paling sering kudatangi dengan berkereta ekonomi.

Apa yang menarik berjalan di atas rel? Yang pasti, berbeda dengan jalan kaki di jalan raya, di trotoar, atau di jalan-jalan tikus tengah kampung. Apalagi rata-rata jalannya datar saja dengan aspal mulus atau semen atau paving block. Berjalan di rel kereta itu seakan kita berakrobat. That's life. Kita belajar meniti baja rel dengan penuh kesadaran arti pentingnya keseimbangan. Bahwa, sekali kita tergelincir, telapak kaki akan menjejak di serakan kerikil. Sakit. Ada dua sisi yang berdekatan satu sama lain. Yang satunya menyimpan harapan akan perjalanan yang mulus. Satunya lagi sebagai pengingat bahwa marabahaya atau kesusahan itu selalu ada. Kerikil mewakilinya.

Setelah rel kereta, entah apa lagi jalur beda yang akan coba kujajaki? Ada ide?


*Foto dikereta-apikan dari www.freefoto.com