Senin, 28 Maret 2011

Jalan Kaki 5 Kilometer




Lama juga saya tidak memperbarui isi blog ini. Setelah berkutat dan larut dalam euforia atas terbitnya buku saya 'Travelicious Lombok' (B-First, Februari 2011), jeratan kemalasan, dan bermain-main di dua jejaring sosial dan blog di multiply, maka baru sekaranglah saya terpikir untuk mengisi 'bensin kendaraan maya' saya ini.

Apalagi beberapa jam yang lalu, saya tersesat di belantara blog para travel writer. Sebut saja, Agustinus Wibowo, Trinity, Hifatlobrain, Matatita, dan Dwi Putri Ratnasari. Mau nggak mau saya 'terbakar' juga untuk tidak lama-lama membiarkan blog saya kering-kerontang.

Dan, saya ingin sedikit berbagi penggalan dari buku 'Travelicious Lombok'. Tentu saja, karena masih relevan dengan tema blog ini: jalan kaki. So, here we go!


Menyiksa diri? Bisa jadi. Padahal sebenarnya saya bisa naik ojek dengan membayar Rp8.000,00 dari Ancak, Karang Bajo, menuju Senaru. Senaru adalah tujuan saya berikutnya. Saya ingin menikmati sore di Air Terjun Sendang Gile dan Tiu Kelep yang berada di situ.

Jam di hp saya menunjukkan pukul 13.26. Setelah puas menjepret, saya keluar dari area Masjid Kuno Bayan Beleq dan berjalan kaki ke pertigaan Ancak. Di situ ada pangkalan ojek. Ada masjid juga. Saya hendak menunaikan shalat zuhur dulu.

Saya pikir jarak 5 kilometer tidaklah jauh. Dengan bermodal pengalaman sering jalan kaki dari kontrakan ke kampus yang hanya memakan waktu 15 menit, saya pun nekat berjalan kaki menuju Senaru. Andai saya tahu medannya seperti apa, pasti saya akan memilih naik ojek. Mengapa? Jalanan dari Ancak ke Senaru berliku-liku dan banyak tanjakannya. Dengan ransel di punggung dan sandal crocs biru yang sudah aus alasnya, saya terpaksa berhenti dan istirahat beberapa kali. Saya tidak mau patah semangat hanya gara-gara kecapekan dan jalan sendirian. Untuk mengalihkan rasa lelah, saya menangkap sebanyak-banyaknya pemandangan di sisi kiri dan kanan saya. Baik itu dengan lensa mata maupun lensa kamera.

Hamparan sawah dan pohon-pohon di bawah saya cukup ampuh menyegarkan mata. Saya juga bertemu dengan seorang ibu yang sedang membakar pepes ikan di bawah bangunan sederhana pinggir jalan. Ketika saya tanya harganya berapa, saya menganga kaget.
Harganya cuma seribu Rupiah! Pepes ikan berukuran cukup besar… di daerah ketinggian seperti ini? Wow! Karena ibu itu tidak sekalian menjual nasi, maka saya pun mengurungkan niat untuk membeli pepes ikannya. Padahal saya ingin sekali mencobanya. Air liur saya menetes…

Saya terus berjalan kaki melewati rumah-rumah penduduk yang masih jarang. Kebun-kebun jambu mete yang ranum berbuah juga saya lintasi. Hingga saya melihat beberapa bocah perempuan dan seorang anak laki-laki di sebuah dangau pinggir jalan. Seorang perempuan dewasa terlihat menggalah jambu mete. Bagai sudah ditentukan, kaki saya merangsek ke arah mereka dan meminta izin duduk di situ melepaskan lelah.

Anak laki-laki kelas dua SMP 3 Bayan itu bernama Rismayadi. Ia bersama lima adiknya menunggui ibu mereka yang sedang merontokkan jambu mete dengan galah. Saya ngobrol-ngobrol dengan Rismayadi. Wajah adik-adiknya terlihat antusias menyimak. Wajah-wajah yang polos dan penuh keceriaan. Terlebih ketika saya memotret mereka. Seolah-olah siap, mereka pun memasang pose yang polos dan manis.

Saya edarkan pandangan ke sekeliling. Melihat buah jambu mete yang berserakan dan “Memang jarang kami makan,” ujar Rismayadi, saya pun meminta izin agar dibolehkan mencicipi jambu mete alias jambu monyet itu. Rismayadi mengiyakan dan langsung memanjat pohon jambu mete. Saya dipilihkan dua buah yang berwarna kuning. “Lebih manis daripada yang warna merah,” jelasnya. Dengan wajah penuh syukur, saya pun menikmati segarnya jambu mete tersebut. Satunya lagi saya selipkan di ransel. Sebagai bekal di jalan, hibur saya dalam hati.

Selain mengucapkan terima kasih, saya pun mengajak mereka berenam untuk berfoto-foto. Tak lupa saya tunjukkan jambu mete tersebut di depan kamera.
Memandang senyum lugu dan binar keceriaan yang tergambar di wajah mereka, membuat semangat saya terpompa kembali. Bahkan, ketika sudah berjalan beberapa meter meninggalkan mereka, saya masih terus menengok ke belakang. Mereka memanggil dan melambai-lambaikan tangan pada saya. Sungguh mengesankan! Membuat saya merenung akan kebaikan hati manusia dan tentu saja kebaikan Tuhan…