Sabtu, 20 September 2014

Banteng Belaga Jerami Rebaq



(Sumber: Wikipedia)

            “Jokowi pencitraan! Dia cuma capres boneka! Sebenarnya yang mau jadi presiden itu siapa sih? Jokowi apa Megawati?”
            “Kebayang nggak kalo Indonesia dipimpin Prabowo? Rakyat bakal dibodoh-bodohi! Aktivitas diculik. Orang yang protes akan ditangkap. Kita nggak bakal bisa ngomong sebebas ini.”
            Baca berita di halaman media online dan baca komentar-komentarnya deh! Pasti akrab dengan kalimat-kalimat di atas. Belum lagi di grup-grup diskusi di Facebook, misalnya. Atau, bahkan status teman-teman di media sosial.
            Bulan-bulan menjelang Pemilu 9 Juli, kita dibombardir oleh berita-berita tentang capres. Pascapemilu pun sama. Beritanya masih santer. Orang-orang pun berlomba-lomba jadi juru kampanye. Perang di media sosial, khususnya, tak bisa dihindari. Panas rasanya. Padahal kita cuma menghadapi layar ponsel, tablet, atau laptop. Tapi, emosi ini bergejolak. Orang-orang turun tangan melakukan perang maya (cyber war). Masing-masing menyuarakan opininya.
            Kalau jeli mengamati, banyak bermunculan situs berita abal-abal. Mereka terang-terangan mendukung salah satu calon presiden. Nada pemberitaannya pun terkesan sadis. Menjelek-jelekkan kubu lawan. Tanpa jadi ahli atau pengamat media pun, orang awam bisa merasakan nada keberpihakan itu.
            Para pendukung calon presiden tertentu akan mencari dan menyebarluaskan berita-berita yang menjelek-jelekkan lawan. Pendukung lawang pun akan berusaha untuk menanggapi balik dengan menghadirkan informasi yang diambil dari situs berita atau blog pribadi. Hawa panas benar-benar tak terhindarkan.
            Akibatnya bisa ditebak. Orang-orang saling bermusuhan. Gerah dengan status-status tendensius teman di media sosial, seseorang sampai meng-unfriend atau meng-unfollow temannya untuk sementara. “Daripada ikut emosi?” Demikian alasannya.
            Ada orang-orang yang kedamaiannya terusik. Ia menyamankan dirinya dengan cara itu.
            Tapi, ada juga yang malah bersemangat untuk mengobarkan kampanye negatif bahkan kampanye hitam di tengah-tengah jagad maya. Itu dilakukan terang-terangan sekalipun oleh para figur publik, entah itu penulis, wartawan senior, akademisi, juga artis. Yang penting mereka bersuara. Menyuarakan apa yang mereka yakini sebagai kebenaran. Padahal banyak yang cuma bermodal tautan berita online tanpa berusaha untuk skeptis, kritis, dan melakukan kroscek.
            Media memang ampuh untuk membentuk opini masyarakat. Itulah sebab mengapa media dimanfaatkan oleh para politisi untuk memuluskan ambisi kekuasaan mereka. Media yang dibayar itu pun akan membuat berbagai pemberitaan yang mengangkat ‘sponsor’ mereka sekaligus menjegal langkah lawan. Maka, berita-berita dengan nada tendensius pun berseliweran di laman media sosial kita.
            Akibatnya apa? Masyarakat kita yang belum benar-benar melek media, belum terliterasi dengan baik, akhirnya terpecah-belah. Alih-alih berdiskusi dengan pikiran terbuka, yang muncul malahan komentar-komentar emosional. Pada awalnya kawan, bisa-bisa jadi lawan. Hanya gara-gara Pemilu. Amat menyedihkan!
            Hal ini mengingatkan saya pada peribahasa Sasak, bahasa yang saya pakai sehari-hari di rumah, “Banteng belaga jerami rebaq”. Terjemahan bebasnya adalah banteng yang berlaga di tengah-tengah sawah menyebabkan jerami rebah dan patah. Secara maknawiah, peribahasa itu merujuk pada para politisi yang berkontestasi dan cenderung menyebabkan orang-orang di bawah mereka sebagai korban.
Dalam konteks ini, banteng mewakili politisi. Jerami adalah rakyat. Para politisi berlaga, rakyat yang menderita dan sengsara. Rakyat menderita secara psikisi. Mereka bingung, emosional, marah, sedih, campur aduk jadi satu.
            Alih-alih berkompetisi secara sehat, elegan, dan cerdas sehingga memberikan pendidikan politik bagi rakyat. Ini tidak. Para politisi lewat sepak terjang mereka di media menunjukkan cara berpolitik yang tidak anggun dan mencerdaskan rakyat.
            Banteng belaga jerami rebaq ini yang jadi kalimat bijak di kalangan masyarakat Sasak, Lombok, tak hanya cocok merefleksikan apa yang terjadi belakangan ini di pentas nasional. Tapi, dalam lingkup sosial apa pun, kita akan mudah menemukannya. Di keluarga, perselisihan orangtua, misalnya. Di kantor, konflik antarmanajer, misalnya. Di organisasi, perselisihan antarketua divisi, contohnya. Di sidang PBB, perselisihan antarkepala negara, contohnya.
            Peribahasa ini kiranya bisa menjadi refleksi bagi para politis pun pemimpin. Mereka sebagai banteng sebenarnya punya pilihan untuk menjadi banteng seperti apa. Apakah tetap berlaga di sawah berjerami dan menginjak-injaknya ataukah mencari arena lain yang cuma berumput saja atau tanah kosong sama sekali? Biar tak ada korban?
            Hidup itu bukan pilihan. Hidup itu memilih. Kelak ketika Anda ditakdirkan di posisi banteng, arena laga seperti apa yang Anda pakai? Bagaimana cara Anda berlaga?  
 Pilihan-pilihan terbentang. Tinggal Anda hendak memilih yang mana. Termasuk memilih kearifan lokal yang terkandung dalam budaya dan bahasa daerah kita masing-masing.   
 



*Tulisan ini disertakan dalam kontes GA Sadar Hati – Bahasa Daerah Harus Diminati