Rabu, 26 Mei 2010

Kenapa Kamu Jalan Kaki?


Lama juga tak menapakkan kaki di blog ini. Menuliskan sesuatu yang terkait dengan berjalan kaki. Tak ingin blog ini jadi pajangan semata tanpa diisi dengan sesuatu yang berharga, maka saya pun mencoba meneteskan pikiran kembali.

Tak perlu basa-basi lagi.

Teman-teman kontrakan saya seringkali heran dengan ritual jalan kaki saya. Tak sekadar terlihat dari ekspresi wajah, tapi juga lontaran kata-kata.

"Kamu habis dari mana?"

"Gramedia."

"Pakai apa ke sana?"

"Jalan kaki."

"Itu lho ada motor. Kenapa nggak dipakai?"

Atau sebentuk percakapan seperti berikut.

"Kenapa kamu nggak bilang untuk dijemput?"

"Aku mau jalan kaki."

Atau seperti ini.

"Bro, aku berangkat dulu, ya!"

"Ini lho pakai motorku."

"Nggak usah!"

"Kenapa?"

"Aku mau jalan kaki saja. Ok? I'm okay, bro!"

Di satu sisi, saya orang yang termasuk seganan. Jika saya bisa lakukan sendiri, akan saya lakukan. Itu pula yang menyebabkan saya berani berkuliah di tanah seberang. Sebab, saya punya keyakinan, saya bisa mandiri. Bukan suatu hal yang perlu dibanggakan. Biasa saja. Meski sempat seorang teman perempuan yang menunjukkan binar kekagumannya pada kemandirian saya. Bagi saya, mandiri adalah keniscayaan. Tentu, bukan untuk menyombongkan diri bahwa saya tidak butuh orang lain. Namun, percayalah, mandiri akan membuat otak Anda selalu bekerja. Anda 'dipaksa' untuk memikirkan cara dan alternatif ini itu. Untuk kasus saya, saya menyukainya. Kalau Anda?

Hal lainnya adalah... saya ingin belajar mensyukuri karunia Allah yang terlimpahkan dalam hidup saya. Apa itu? Kaki. Seringkali saat berjalan kaki pulang dari kampus menuju kontrakan, atau dari kontrakan ke toko buku, saya bersyukur karena masih diberikan kaki yang sehat dan kuat. Saat mata saya bertumbuk pada loper koran di lampu merah Manyar yang kakinya cacat, saya membisiki diri saya, "Alhamdulillah... Aku masih punya kaki yang normal." Bukan untuk 'bahagia' di atas penderitaan orang lain, namun seringkali kita tersadar atas sesuatu setelah menemukan pembandingnya.

Lalu, saya juga belajar menyayangi bumi. Saya belajar banyak di kelas tentang global warming. Pemanasan global yang salah satunya diakibatkan oleh akumulasi karbondioksida di atmosfer. Penyumbang karbon ini, kalau bukan asap pabrik, paling banyak adalah asap kendaraan bermotor. Nah, saya belajar untuk mengurangi penggunaan sepeda motor. Well, tentu saja, di kala kepepet, saya bisa saja meminjam sepeda motor teman. Atau jika lokasi yang ingin saya tuju letaknya jauh dan ke sananya di siang hari yang terik a la Kota Surabaya. Namun, setidaknya, dengan berjalan kaki, saya bisa mengurangi sumbangan karbon yang menyiksa bumi kita ini.

Dan, bukankah jalan kaki itu juga menyehatkan???

Meski badan saya kurus dan tetap suka berjalan, saya tak risau akan hal itu. Yang penting, saya sehat.

Bagaimana dengan Anda?

*Gambar dicungkil dari www.wallgau.de*