Kamis, 18 Maret 2010

Kala Berjalan, Saya Biasanya...


Saya beruntung punya dua kaki. Saya masih bisa menggunakannya untuk berjalan. Hingga ketika saya terkadang mengeluh harus berjalan kaki cukup jauh di siang terik - atau harus berjalan di malam hari dengan kondisi tubuh capek - saya bisa kembali mengingat kata-kata saya tersebut. Untung masih punya kaki. Bisa ke mana-mana dengan bebas. Bayangkan mereka yang tidak punya. Sungguh, nikmat Tuhan manakah yang hendak kita dustakan?

Kulit saya memang menjadi semakin 'manis' kelihatannya. Meski peluh jadi teman, tak apalah. Itu bukti bahwa saya masih sehat. Saya bisa berkeringat. Metabolisme tubuh saya berjalan dengan baik.

Oke, terkait dengan judul di atas, apa yang biasanya saya lakukan saat berjalan kaki? Banyak! Apalagi kalau dirunut satu per satu secara mendetil. Namun, saya hanya akan menyebutkan beberapa aktivitas yang paling sering saya lakukan. Ini dia.

Menengok kiri-kanan
Istilahnya 'nggak banget' ya? Hehehe... Menengok kiri-kanan ini, kurang lebih maknanya adalah cuci mata. Tentu saja, selama di jalanan, akan banyak pemandangan yang saya temukan. Meski terkadang rute yang saya lalui itu-itu saja - terutama kampus-kontrakan - namun, tidak selalu sama pemandangan yang saya lihat. Rumah-rumah penduduk memang terlihat sama dari hari ke hari. Akan tetapi, orang-orang yang saya jumpai di jalananlah yang berbeda. Sekaligus pemandangan, juga referensi pengamatan.


Menarik napas

Ini juga sebenarnya kriteria yang tak begitu penting diungkap. Sudah pastilah, saya berjalan sambil bernapas. Akan sangat mengherankan jika saya berjalan tanpa bernapas. Apa komentar orang-orang??? Hehehe...


Bernyanyi

Inilah kegiatan yang sering saya lakukan. Bersenandung, bahkan teriak-teriak bernyanyi. Saya memanfaatkan bising kendaraan di sekitar saya untuk menyalurkan bakat menyanyi saya itu. Kok bisa? Bisa saja! Apalagi kalau misalnya saya menyanyikan lagu-lagu bernada tinggi, saya terbantu sekali oleh suara kendaraan yang ramai hingar-bingar. Suara saya tersamarkan. Saya bisa mencapai oktaf tertinggi, sekemampuan saya. Itu sebuah pencapaian. Arena bernyanyi gratis yang cukup menyenangkan. Hahaha...


Mengamati

Tak afdol jika berjalan kaki tanpa mengamati. Kira-kira samalah dengan poin pertama. Namun, mengamati ini saya lakukan sekaligus riset manusia. Tindak-tanduk manusia. Saya bisa tertawa-tawa sendiri saat menyaksikan orang berpolah lucu. Saya pun bisa merenung - mensyukuri hidup - saat melihat orang bernasib di bawah saya. Saya bisa berpikir tentang masa depan, masa lalu, bersemangat meraih ilmu, mengenang orang-orang yang pernah mampir dalam hidup saya - hanya gara-gara mengamati orang-orang dan pemandangan yang saya amati di jalanan. Dengan berjalan kaki, saya pun memiliki jeda agak lama untuk memikirkan hal tersebut. Sebuah hal yang jarang bisa dilakukan oleh orang-orang yang selalu dikejar oleh kesibukan dan waktu. Saya ingin menikmati hidup. Itu saja.

Hmmm... Apalagi ya? Kalau Anda, bagaimana? Sekiranya bisa berbagi di sini.

Tabik.

*gambar diculik dari http://www.biosphere-expeditions.org*

Rabu, 03 Maret 2010

Renungan Pejalan


Bagi sebagian orang, pohon hanyalah makhluk pasif yang hanya mengenal sepi. Tetapi bagi pejalan-pejalan kaki jenis tadi, pohon adalah wakil-wakil suara keikhlasan.

Bagi banyak orang, bintang di malam hari tidak lebih dari tanda tiadanya sinar matahari. Namun bagi soul traveler, ia hanyalah cara sang maha tinggi untuk menyelimuti.

Bagi kebanyakan orang, sungai tidak berkata-kata apa pun. Namun bagi pencinta-pencinta kepekaan, ia adalah guru kekuatan tak tertandingi yang bernama kelenturan.

Bagi tidak sedikit manusia, batu hanyalah benda mati yang tidak peduli. Tapi bagi sahabat-sahabat kejernihan, ia adalah lambang kekuatan dan daya tahan.

Bagi sejumlah orang, gunung tinggi hanyalah fenomena alam yang teramat biasa. Namun, bagi pemberani-pemberani di atas pikiran ini, ia adalah guru kebijaksanaan yang senantiasa berbisik: bila gunungnya tinggim jurangnya juga dalam.

Pada kehidupan sejumlah orang biasa, setiap tarikan napas hanyalah gerakan-gerakan tubuh yang memperpanjang eksistensi. Bagi pencinta-pencinta kejernihan, setiap tarikan napas adalah rangkaian keajaiban. Disebut keajaiban, karena bernapas adalah kegiatan terpenting dan pada saat yang sama dilakukan secara free of charge, gratis.

(Gede Prama; Jalan-Jalan Penuh Keindahana; hal. 125-126)


*gambar ditarik dari http://travelhouseuk.wordpress.com*

Senin, 01 Maret 2010

Pejalan dan Penampilan


Karena sewaktu bersekolah dasar saya terbiasa jalan kaki dari dan ke rumah, maka bukan suatu keheranan jika rambut saya menjadi sedikit memerah dan kulit yang agak kecokelatan. Tidak sampai gosong. Namun, cukup membuat saya menjadi tidak percaya diri dengan keelokan tubuh yang telah Tuhan anugerahkan. Minder pada anak-anak yang lebih tampan, seperti itulah.

Dan, ketika di SMP, ada teman yang iseng atau memang sengaja melontarkan tanya. "Tah, rambutmu dicat, ya? Pakai air keras, gitu?"

Saya nyengir saja. Bisa dibilang, itu pertanyaan yang agak menohok. Entah kawan itu sengaja ingin memalukan saya ataukah karena memang dia tidak tahu. Tapi, kecurigaan saya lebih menjurus pada: MEREKA SENGAJA. MENGEJEK PENAMPILAN SAYA YANG TERBILAS DAN TERGILAS SINAR MATAHARI TERLALU SERING.

Pertanyaan mereka itu pada dasarnya juga berakar dari sosok salah satu kakak laki-laki saya. Inisialnya, J. Kakak saya tersebut cukup terkenal di kalangan anak muda di kota kecil kami karena kebengalannya. Bengal? Pergaulannya memang dengan anak-anak yang suka balapan liar dan memreteli motornya hingga nampak aneh. Ada pengejaran pretise bagi dirinya di komunitas tersebut. Mungkin pula sebagai bentuk berontaknya pada aturan dalam keluarga.

Nah, selain hobi balap dan teman-teman SMP saya cukup banyak yang sehobi dengannya, dia juga pernah mengecat rambutnya. Di dalam masyarakat kami, anak yang bercat rambut, entah kuning, merah, apalagi warna-warna ngejreng lainnya, diidentikkan sebagai anak nakal.

Sudah identik dengan anak nakal dan saya kebetulan adiknya, maka saya pun dikira nakal. Itu pun prasangka saya terhadap komentar teman-teman, tidak seratus persen benar. Sebab, mereka tahu sendiri kalau saya termasuk anak yang pendiam, rajin belajar, dan manutan. Cuma, penampilan luar sedikit menipu. Rambut di bagian depan agak kemerah-merahan.

Sungguh! Bukan karena sengaja aku cat. Aku bukan tipe seperti itu. Justru, aku sangat tidak percaya diri dengan tampilan rambut seperti itu. Aku lebih suka berpenampilan alami. Sederhana. Bersahaja, kalau bisa.

Itu juga gara-gara intensitasku yang lumayan tinggi terpapar oleh sinar matahari. Sejak kecil suka bermain-main di luar. Sawah, jalanan, sungai. Penampilan yang tidak kujaga itu pun tentu saja melekat, terbawa sampai SMP. Sampai aku sadar untuk merawat rambutku sehingga pernah memakai sampo yang khasiatnya untuk menghitamkan rambut. Tak berhasuil. Tak ada efeknya. Keinginan menghitamkan rambut justru menimbulkan efek lain. Rambutku menjadi kusut. Keritingnya semakin ikal. "Kalau lalat dimasukin ke rambutmu, pasti bakal tersesat!" goda teman saya. Saya pun tertawa. Meringis, tepatnya.

Hari demi hari berlalu. Di SMA, saya sempat alergi jalan. Sebab, ada motor pemberian orang tua. Ke sekolah, ke rumah kawan, dan ke mana-mana, menjadi lebih sering dengan motor. Saya agak terawat, secara alamiah. Berjaket juga menjadi lebih sering. Biar tidak kena angin. Biar tidak tersengat terik matahari.

SMA lewat. Masa kuliah pun tiba. Dan, seperti sebuah siklus. Saya justru menjadi lebih suka berada di bawah tiupan matahari. Agak tidak hirau pada kesehatan kulit, mungkin iya. Namun, di sisi lain, saya merasa kembali menemukan kenikmatan dengan anugerah yang dilimpahkan Tuhan melalui matahari, angin, bintang, rembulan, dan kawan-kawannya. Dan, seakan-akan, saya rela untuk berada di bawah terik mentari. Ada semangat pejalan yang muncul di situ. Semangat meresapi dan berkawan dengan alam.

Pejalan dan penampilan?

Sinkronkan saja!


*gambar diculik dari www.gettyimages.com*