Minggu, 21 Februari 2010

[Puisi] Novel Sebiji, Snack Segenggam


Aku berjalan,
mengikuti arus malam,
di pundak tersampir jaket hitam,
tertenteng di tangan kanan,
sebuah helm berisi
novel sebiji,
snack segenggam.

Di bentara elit perumahan,
kuputuskan menyesatkan diri,
membiarkan langkahku menyusuri,
hingga dua anjing tertarik menggonggongku,
merengsek ingin merobek pagar.

Aku takut galaknya anjing.
Bukan anjing galak.

Keringat mulai terbubuh di punggung,
kaosku basah,
padahal sepoi angin menerpa,
ingin halau gerah.
Takkan bisa, pikirku.
Sebab, pentol-pentol bakso kepala sapi,
yang kumakan setengah jam yang lalu,
sedang terolah menjadi energi,
oleh gerakku.

Kuberjalan di sisi sungai, kini.
Jika ke kontrakanku,
tinggal seberangi jembatan itu!
Namun, aku memilih melewatinya.
Terus mengukur jalanan kampung
(bukan elit perumahan lagi).

Aku menuju warung.
Warung internet.
Mengeposkan ketikanku di ponsel ini
ke blog-ku.


*gambar diangkut dari http://whitemonkeynewsbureau.wordpress.com/ *

Rabu, 10 Februari 2010

Mengejar Toko Buku


Saya pernah berjalan ‘cukup’ jauh pada malam hari hanya untuk mengincar sebuah toko buku. Apa istimewanya toko buku tersebut?

Jadi, sekitar bulan Desember 2009, saya mendapatkan kesempatan untuk mengunjungi Jakarta. Dalam rangka penyerahan hadiah lomba karya tulis bidang kearsipan yang diadakan oleh Arsip Nasional RI. Lokasi acara adalah Jakarta Selatan.

Sementara itu, saya baru sadar kalau toko buku yang selama ini saya ‘baca’ gaungnya di dunia maya ternyata ada di Jakarta Selatan. Saya tidak sengaja menemukannya ketika berada di dalam taksi menuju Blok M, saya tidak sengaja menengok ke arah kiri dan mata saya bersirobok dengan plang MP Book Point.

MP Book Point?

Waaaah…

Saya langsung berseru pada dua teman – sesama pemenang karya tulis - yang duduk di belakang saya. Tapi, mereka tidak begitu hirau. Sepertinya tidak begitu antusias – bahkan bisa jadi – belum mendengar MP Book Point.

Karena tujuan kami bukan ke situ, sehingga saya pun menancapkan janji untuk ke toko buku tersebut sebelum hengkang dari Jakarta!

Mulailah saya memutar balik ingatan saya mengenai rute yang telah kami tempuh sejak naik taksi hingga lewat di depan MP Book Point. Well, tidak terlalu jauh. Apalagi kalau dari depan ANRI. Bisa ditempuh dengan jalan kaki, desis saya dalam hati.

Keesokan harinya, tepatnya sehabis Isya, saya pun keluar dari penginapan. Sendirian saja. Sebab, tiga teman penginapan saya telah berangkat pulang ke daerah masing-masing, yakni Purwokerto dan Jombang. Saya sendiri berencana pulang ke Surabaya dua hari berikutnya. Sebab, saya masih ada sejumlah agenda, di antaranya: menonton film Sang Pemimpi dan kopdar dengan teman multiply. Mengunjungi MP Book Point juga!

Saya mengisi perut dulu di sebuah warung kemudian mulai menyemburkan radar saya, menelisik alur yang sekiranya akan saya tempuh. Saya memerhatikan angkot yang melalui jalan yang memang dilalui oleh taksi kami pada malam sebelumnya.

Perjalanan kaki saya pun dimulai – untuk sebenar-benarnya mencari keberadaan MP Book Point. Saya hanya perlu mengikuti insting dan peta jalan yang tergambar di dalam kepala saya. Taksi imajiner yang kemarin saya tumpangi mulai berjalan pelan-pelan di memori saya seiring derap langkah kaki saya.

Awalnya, saya menyusuri jalan tak bertrotoar. Cukup tipis jarak badan saya dengan mikrolet yang melintas. Sebab itu, sesekali saya menoleh ke belakang, memastikan antara mikrolet dan saya berjarak aman.

Di ruas jalan yang bertrotoar, saya pun tidak menyia-nyiakan ‘nyawa’ saya. Mencari posisi yang aman dengan mematuhi aturan bagi pejalan kaki. Tas kain cangklong warna putih makin saya kepitkan. Isinya sebuah handycam. Saya berniat memotret eksterior dan interior serta sudut-sudut menarik lainnya dari MP Book Point. Sepatu pantofel hitam – pinjaman dari teman kontrakan – pun saya derapkan di trotoar. Serasa saya seorang turis yang menikmati jalan-jalan kakinya sekalipun itu menyusuri jejalanan raya yang mungkin pada siang harinya sungguh melelehkan minat dan memanaskan kepala.

Saya terus jalan. Ketika menemukan persimpangan, saya menuruti kata hati untuk memilih belok kanan. Ya, sesuai jalur mikrolet. Di kiri kanan jalan yang saya lalui, bukan pemandangan ruwet nan padat yang saya temukan – seperti yang selama ini disematkan pada ibukota. Beberapa rumah masih ‘memeluk’ pepohonan dan bebungaan. Saya bahkan sempat terkesima sejenak pada sebuah rumah yang memiliki toko bunga di depannya. Ada kesegaran mencuat di situ.

Saya tengok jam di ponsel. Mendekati pukul delapan.

Berapa lama lagi ya?

Sebentar lagi. Pasti sebentar lagi. Begitu hibur saya pada diri sendiri.
Becek-becek tanah di pinggir jalan akibat hujan tadi siang yang masih menyisakan gerimis, beberapa kali hampir menjebak sepatu saya. Karena tidak sepanjang jalan diterangi sinar lampu, baik lampu merkuri ataupun neon yang terpasang di depan rumah penduduk, saya pun berusaha untuk menajamkan mata agar kaki sebisa mungkin menjejak
di atas material yang padat.

Saya tidak menjumpai gemintang di atas kepala saya.

Dari kejauhan, saya melihat tanjakan. Hmmm… MP Book Point pasti berada di balik tanjakan itu, pikir saya. Sugesti pada diri sendiri itu membuat saya makin bersemangat. Dari langkah-langkah biasa menjadi lari-lari kecil. Saya sudah bersiap sedia untuk senang beberapa saat lagi. Senang karena akan menemui surga buku. Senang karena toko buku yang cukup terkenal itu – paling tidak, terkenal di dunia maya – akan saya hampiri, masuki, dan eksplorasi tiap sudutnya.

Saya memang senang bermain di toko buku. Laksana menemukan rumah kedua. Di beberapa kota yang pernah saya singgahi, saya senantiasa menyempatkan diri mengunjungi toko bukunya. Gramedia Botani Square di Bogor; Togamas, Tisera, Gramedia, dan Wilis di Malang; penyewaan buku di Pare, Kediri; Togamas, Gramedia, Karisma, Blauran, serta toko buku Manyar di Surabaya; dan sekarang MP Book Point di Jakarta. Beberapa minggu kemudian, ketika berkesempatan jalan-jalan ke Jogjakarta, saya pun tidak menyia-nyiakan kesempatn ke Gramedia Malioboro Mall dan Shopping (nama pusat buku murah) dekat Taman Pintar.

Ternyata, saya harus menahan kesabaran sedikit lagi ketika menjumpai MP Book Point masih berjarak puluhan meter lagi dari puncak tanjakan yang saya pijaki. Dari seorang teman, saya mendapat informasi kalau toko buku tersebut buka sampai jam 9 malam. Berarti, saya hanya memunyai sekitar 1 jam untuk menjelajahi toko buku tersebut. Saya makin mempercepat langkah.

Beberapa meter, akhirnya, mata saya bersitatap dengan kotak neon MP Book Point. Saya tersenyum lega, tentu saja.

Handy-cam pun saya keluarkan dan mulai mengambil gambar.

Saya senang. Senang sekali. Hasrat saya mengunjungi ‘rumah kedua’ tercapai juga. Ditambah lagi kesenangan pada siang harinya di mana saya menerima hadiah uang. Bisa saya pakai belanja buku!

Jam 9 tepat, saya pun keluar dari MP Book Point. Dua buku ‘tebal’ telah berhasil saya ‘gondol’. Saya meledak. Senang. Meskipun harus kembali berjalan kaki lebih satu kilometer. Menuju penginapan. Dan tidur pulas dengan senyum tersungging.


*gambar disabet dari www.projectwomen.com*