Kamis, 05 Mei 2011

Jalan Kaki, Nak!

Medio 2006

Malang adalah kota pertama di Pulau Jawa yang saya pijaki. Berbekal pengetahuan yang minim akan Kota Dingin itu, saya dan tiga teman lainnya naik bus dari Lombok dengan satu tujuan: melanjutkan pendidikan.

Agak berbeda dengan ketiga teman lainnya yang berhasil masuk perguruan tinggi negeri, saya yang tidak lulus SPMB memilih masuk di Wearnes Education Center, semacam lembaga pendidikan komputer. Lama pendidikannya hanya 1 tahun. Itu sudah termasuk magang.

Sebelumnya, saya tidak pernah bermimpi kuliah di Malang sebagaimana berharap kuliah di Surabaya saat ini. Kampus impian saya tetaplah Universitas Indonesia dengan jurusan idaman, Hubungan Internasional. Sayang sekali, saya lalai belajar. Selepas hasil UN diumumkan, saya pun berkubang dalam euforia. Terlalu abai pada tingkat kesulitan soal-soal SPMB. Saya tidak ambil bimbel. Saya sibuk bermain.

Dan, kegagalan itu benar-benar menohok. Menancap kuat, kawan!

Namun, menganggur menunggu SPMB tahun berikutnya bukanlah pilihan tepat. Saya ingin kuliah, begitu tekad saya. Dan, di sinilah saya sekarang. Saya tak perlu menyesalinya. Saya harus keras pada diri sendiri. Jika tidak demikian, hidup yang sudah dan makin keras ini akan menggilas saya.

Malang. Di sinilah saya berada sekarang. Memulai hari-hari yang penuh adaptasi. Dengan cuaca, makanan, orang-orang, budaya, hingga suasana lingkungan berbeda. Sebagai anak yang selama 18 tahun tak pernah keluar ‘sarang’, rasa kangen benar-benar menyiksa. Meninggalkan zona nyaman membuat saya megap-megap laiknya mas koki yang kehabisan aqua. Ini risiko. Saya tak boleh lembek.

Berhubung saya tidak dibekali kendaraan berupa sepeda motor, mencari kos yang dekat dengan kampus adalah keharusan. Dibantu oleh ketiga teman saya itulah, akhirnya sebuah kamar kos di Jalan Pekalongan Dalam saya dapatkan. Jaraknya tidak jauh dari kampus saya di Jalan Jakarta. Cukup berjalan kaki lima menit saja.

Selama setahun saya berjalan kaki dari kos ke kampus. Selama itu pula, tiap kali ke mana-mana, saya memilih jalan kaki. Ke Togamas di Dieng, saya jalan kaki. Ke Malang Town Square (Matos), saya jalan kaki. Mengunjungi teman-teman saya di daerah sekitar Brawijaya dengan jalan kaki, kadang len.

Saya pernah protes sekaligus meminta pada bapak agar dikirimkan sepeda motor. Namun, bapak tetap tidak mengizinkan dan berkilah kalau “Jawa” itu macet, sering terjadi kecelakaan. Juga, bercermin pada pengalaman kakak saya yang diberikan motor justru membuatnya lebih sering kelayapan dan kuliahnya amburadul. “Nanti kalau bapak kasih motor, Fatah sering keluar main dan nggak belajar.” Baik, saya mencoba untuk memahami kekecewaan bapak. Tak ada salahnya patuh pada orang tua.



Medio 2007

Saya hijrah ke Surabaya. Masuk jurusan idaman saya, meski bukan perguruan tinggi impian.

Lagi-lagi saya harus beradaptasi. Cuaca yang berbeda dengan Malang, orang-orang yang bertemperamen keras (maklum dekat pesisir), dan kehidupan kampus yang benar-benar membuat saya sedikit gegar. Persentuhan awal dengan kuliah pun membuat saya sempat merasa salah ambil jurusan. Gegar. Gegar. Gegar.

“Cari kos di dekat kampus. Biar hemat.” Begitu saran bapak. Saya memaklumi. Apalagi biaya hidup di kota besar memang terbilang mahal. Hingga memunculkan hobi baru pada diri saya: membanding-bandingkan harga makanan dan harga kos. Alam bawah sadar saya pun memaksa untuk lebih selektif dan tetap menjunjung tinggi prinsip ekonomi.

Jarak antara kos dan kampus saya memang dekat. Tak sampai tujuh menit berjalan kaki. Meski cuaca Surabaya yang panas seringkali membuat saya mengeluh. Hingga permohonan pada bapak agar dikirimkan motor pun kerap saya layangkan. Setidaknya, saya bisa mempercepat waktu sehingga tidak kepanasan di jalan. Atau kalau pergi ke CCCL untuk kuliah bahasa Perancis, saya tidak perlu naik angkot yang rutenya memutar jauh itu. Atau kalau ingin pergi cari hiburan atau jalan-jalan ke mal, saya tak perlu memilih diam di kos karena belum mengerti jalur angkot.

Susah kalau tidak ada motor, keluh saya.

Bapak lebih kuat lagi berargumen, “Apalagi di Surabaya, Nak. Lebih parah lagi macetnya. Kendaraan berseliweran. Fatah sering ngantuk kalau berkendaraan. Bisa kecelakaan. Di sana juga pasti rawan curanmor.”

Baik, alasan keamanan motor dan keselamatan berkendaraan memang cukup masuk akal. Tapi, bapak terlalu mengada-ada kalau saya suka ngantuk saat sedang bermotor. Itu lelucon beliau yang selalu saya sangkal.

Memang, sejak ibu tiada, saya berusaha untuk selalu mendengarkan petuah bapak. Untuk urusan ini pun, saya mengalah.

Jalan kaki dari kos ke kampus tetap saya jabani. Kalau ke CCCL, sering kali menumpang di mobil teman. Kalau tidak ada booking­-an, terpaksa naik angkot.

Cuaca Surabaya pun mendukung saya untuk lebih banyak mendekam di kampus atau perpustakaan. Malamnya, di kos saja. Kos yang gerah karena belum ada kipas angin. Kalau tidak, main ke rental buku. Untung lokasinya dekat. Tak terelakkan lagi, kudu jalan kaki.


Akhir 2007

Saya pindah ke Gubeng Jaya, sebelah baratnya kampus. Kos yang lebih nyaman. Tidak segaduh dan se-me-ngantre-panjang kamar mandi kos yang lama.


Oktober 2009

Kali ini saya dan lima teman sejurusan sepakat untuk mengontrak rumah. Kembali saya memboyong barang-barang ke Jojoran Baru.

Lokasinya lebih jauh dari kampus. Tapi, status saya masih sama: mahasiswa pejalan kaki. Kali ini butuh lima belas menit untuk sampai di kampus. Itu dengan ritme jalan kaki yang santai. Bakalan cepat lima menit saat Surabaya sedang ‘genit-genit’nya (baca: panas membara).

Uh, bapak benar-benar berkeras hati untuk tidak mengizinkan saya membawa sepeda motor.

Ah, sudahlah!


Januari 2010


Saya membuat blog baru yang beralamat di www.walkpacking.blogspot.com. Silakan Anda tebak isinya, apa.


Februari 2010

Saya dan lima teman ke Jogja dalam rangka backpacking selama 4 hari. Jalan kaki dari Stasiun Lempuyangan ke hostel di sebelah selatan alun-alun. Menyeret kaki dari selatan ke utara melalui trotoar, lorong kampung, melintasi alun-alun, mencari hostel baru dekat Malioboro. Bolak-balik sepanjang Malioboro. Masuk satu toko ke toko lainnya. Juga jalan-jalan seputaran Prambanan.

Penat, itu sudah pasti. Apalagi kami banyak jalan kakinya. Hingga di salah satu episode perjalanan, teman saya memutuskan untuk naik becak saja. Kapok dia diajak jalan kaki terus oleh saya.


September 2010

Tujuh hari saya ‘mbambung’ di luar rumah. Tanpa sedetik pun ada kontak dengan bapak, meski sekadar sms atau telepon.

Ini menjadi jalan kaki saya yang paling intens seumur hidup. Dengan satu impian yang terus berpijar di depan saya. Menulis buku.

Hingga setiba di rumah dengan kulit cokelat terbakar dan bobot tubuh yang menyusut, bapak bilang, “Bapak sengaja tidak menghubungi Fatah biar konsen pada perjalanannya.”


Februari 2011

Impian yang telah saya pendam selama enam tahun tercapai juga. Lahirlah ‘Travelicious Lombok’. Buku yang merekam perjalanan saya keliling Lombok dengan bujet yang betul-betul mengikat pinggang. Tujuh hari hanya Rp600 ribuan.

Apa rahasianya?

Saya lebih banyak jalan kaki.

Dan, di momen itulah, ucapan-ucapan bapak berputar kembali di kepala saya.

“Nanti kalau bapak kasih motor, Fatah sering keluar main dan nggak belajar.”

“Cari kos di dekat kampus. Biar hemat.”

“Apalagi di Surabaya, Nak. Lebih parah lagi macetnya. Kendaraan berseliweran. Fatah sering ngantuk kalau berkendaraan. Bisa kecelakaan. Di sana juga pasti rawan curanmor.”

“Bapak sengaja tidak menghubungi Fatah biar konsen pada perjalanannya.”

Ya, bapak telah menggembleng saya. Bapak telah mengajarkan saya banyak hal. Bapak telah membantu mewujudkan salah satu mimpi terbesar saya.

Dengan caranya sendiri.


N.B: Tulisan ini saya ikutkan lomba menulis blog di multiply bertema 'Hikmah' yang diadakan oleh Oji. Alhamdulillah, berhasil menjadi juara 2.

Senin, 28 Maret 2011

Jalan Kaki 5 Kilometer




Lama juga saya tidak memperbarui isi blog ini. Setelah berkutat dan larut dalam euforia atas terbitnya buku saya 'Travelicious Lombok' (B-First, Februari 2011), jeratan kemalasan, dan bermain-main di dua jejaring sosial dan blog di multiply, maka baru sekaranglah saya terpikir untuk mengisi 'bensin kendaraan maya' saya ini.

Apalagi beberapa jam yang lalu, saya tersesat di belantara blog para travel writer. Sebut saja, Agustinus Wibowo, Trinity, Hifatlobrain, Matatita, dan Dwi Putri Ratnasari. Mau nggak mau saya 'terbakar' juga untuk tidak lama-lama membiarkan blog saya kering-kerontang.

Dan, saya ingin sedikit berbagi penggalan dari buku 'Travelicious Lombok'. Tentu saja, karena masih relevan dengan tema blog ini: jalan kaki. So, here we go!


Menyiksa diri? Bisa jadi. Padahal sebenarnya saya bisa naik ojek dengan membayar Rp8.000,00 dari Ancak, Karang Bajo, menuju Senaru. Senaru adalah tujuan saya berikutnya. Saya ingin menikmati sore di Air Terjun Sendang Gile dan Tiu Kelep yang berada di situ.

Jam di hp saya menunjukkan pukul 13.26. Setelah puas menjepret, saya keluar dari area Masjid Kuno Bayan Beleq dan berjalan kaki ke pertigaan Ancak. Di situ ada pangkalan ojek. Ada masjid juga. Saya hendak menunaikan shalat zuhur dulu.

Saya pikir jarak 5 kilometer tidaklah jauh. Dengan bermodal pengalaman sering jalan kaki dari kontrakan ke kampus yang hanya memakan waktu 15 menit, saya pun nekat berjalan kaki menuju Senaru. Andai saya tahu medannya seperti apa, pasti saya akan memilih naik ojek. Mengapa? Jalanan dari Ancak ke Senaru berliku-liku dan banyak tanjakannya. Dengan ransel di punggung dan sandal crocs biru yang sudah aus alasnya, saya terpaksa berhenti dan istirahat beberapa kali. Saya tidak mau patah semangat hanya gara-gara kecapekan dan jalan sendirian. Untuk mengalihkan rasa lelah, saya menangkap sebanyak-banyaknya pemandangan di sisi kiri dan kanan saya. Baik itu dengan lensa mata maupun lensa kamera.

Hamparan sawah dan pohon-pohon di bawah saya cukup ampuh menyegarkan mata. Saya juga bertemu dengan seorang ibu yang sedang membakar pepes ikan di bawah bangunan sederhana pinggir jalan. Ketika saya tanya harganya berapa, saya menganga kaget.
Harganya cuma seribu Rupiah! Pepes ikan berukuran cukup besar… di daerah ketinggian seperti ini? Wow! Karena ibu itu tidak sekalian menjual nasi, maka saya pun mengurungkan niat untuk membeli pepes ikannya. Padahal saya ingin sekali mencobanya. Air liur saya menetes…

Saya terus berjalan kaki melewati rumah-rumah penduduk yang masih jarang. Kebun-kebun jambu mete yang ranum berbuah juga saya lintasi. Hingga saya melihat beberapa bocah perempuan dan seorang anak laki-laki di sebuah dangau pinggir jalan. Seorang perempuan dewasa terlihat menggalah jambu mete. Bagai sudah ditentukan, kaki saya merangsek ke arah mereka dan meminta izin duduk di situ melepaskan lelah.

Anak laki-laki kelas dua SMP 3 Bayan itu bernama Rismayadi. Ia bersama lima adiknya menunggui ibu mereka yang sedang merontokkan jambu mete dengan galah. Saya ngobrol-ngobrol dengan Rismayadi. Wajah adik-adiknya terlihat antusias menyimak. Wajah-wajah yang polos dan penuh keceriaan. Terlebih ketika saya memotret mereka. Seolah-olah siap, mereka pun memasang pose yang polos dan manis.

Saya edarkan pandangan ke sekeliling. Melihat buah jambu mete yang berserakan dan “Memang jarang kami makan,” ujar Rismayadi, saya pun meminta izin agar dibolehkan mencicipi jambu mete alias jambu monyet itu. Rismayadi mengiyakan dan langsung memanjat pohon jambu mete. Saya dipilihkan dua buah yang berwarna kuning. “Lebih manis daripada yang warna merah,” jelasnya. Dengan wajah penuh syukur, saya pun menikmati segarnya jambu mete tersebut. Satunya lagi saya selipkan di ransel. Sebagai bekal di jalan, hibur saya dalam hati.

Selain mengucapkan terima kasih, saya pun mengajak mereka berenam untuk berfoto-foto. Tak lupa saya tunjukkan jambu mete tersebut di depan kamera.
Memandang senyum lugu dan binar keceriaan yang tergambar di wajah mereka, membuat semangat saya terpompa kembali. Bahkan, ketika sudah berjalan beberapa meter meninggalkan mereka, saya masih terus menengok ke belakang. Mereka memanggil dan melambai-lambaikan tangan pada saya. Sungguh mengesankan! Membuat saya merenung akan kebaikan hati manusia dan tentu saja kebaikan Tuhan…

Kamis, 13 Januari 2011

Telusuri Rel Kereta Api




Rel.
Jalur kereta api.
Menelusurinya menyimpan kenangan tersendiri. Sebab, pernah aku lakoni sewaktu pulang dari Wonokromo ke kosku di Gubeng Jaya. Jauh??? Lumayan. Tak hitungku kilometernya. Yang pasti, bagi arek Suroboyo, bisalah membayangkan jauhnya.

Sebab apa aku jalan kaki di atas rel? Iseng belaka dan coba-coba. Padahal aku bisa naik angkot, tapi entah kenapa ide menelusuri rel terkesan oke. Ya, aku masih muda dan suka mencoba hal-hal baru.

Saat itu, sehabis keluar dari rumah seorang teman di Wonokromo, aku niat jalan kaki ke Terminal Joyoboyo. *Intermezo: di terminal inilah grup musik Klantink - pemenang Indonesia Mencari Bakat - mengawali kesuksesan mereka sebagai pengamen* Sampai di sana, angkot belum ada yang hendak berangkat. Mumpung masih pagi, udara Surabaya masih bersahabat, matahari juga belum terik, aku pun memutuskan meninggalkan terminal dan mulai berjalan kaki ke arah Kebun Binatang. Menyeberangi jembatan di atasnya dan 'mengukur' trotoar ke arah Taman Bungkul. Dengan mengandalkan insting, aku pun sengaja menyesatkan diri di gang-gang kecil dengan patokan bahwa aku akan menemukan CCCL. Benar!!!

Menyeberangi jembatan di atas Kali Darmo, terus berjalan ke timur hingga bertemu rel kereta api melintangi jalan raya. Impulsivitas pun mencuat. Ambil kiri, susuri rel kereta api.

Aku coba berjalan di tepian rel berbahan baja hitam. Belajar keseimbangan. Sesekali terpeleset ke kerikil. Kembali menahan keseimbangan. Tentu saja, dibarengi dengan berpikir, merenung. Hingga tecetus, aku bisa sampai di kota-kota lainnya dengan jalan kaki menelusuri rel. Entahlah, aku belum berniat untuk menjalaninya. Terbayang kaki ini akan gempor hanya untuk berjalan kaki dari Surabaya ke Malang. Malang, kota yang paling sering kudatangi dengan berkereta ekonomi.

Apa yang menarik berjalan di atas rel? Yang pasti, berbeda dengan jalan kaki di jalan raya, di trotoar, atau di jalan-jalan tikus tengah kampung. Apalagi rata-rata jalannya datar saja dengan aspal mulus atau semen atau paving block. Berjalan di rel kereta itu seakan kita berakrobat. That's life. Kita belajar meniti baja rel dengan penuh kesadaran arti pentingnya keseimbangan. Bahwa, sekali kita tergelincir, telapak kaki akan menjejak di serakan kerikil. Sakit. Ada dua sisi yang berdekatan satu sama lain. Yang satunya menyimpan harapan akan perjalanan yang mulus. Satunya lagi sebagai pengingat bahwa marabahaya atau kesusahan itu selalu ada. Kerikil mewakilinya.

Setelah rel kereta, entah apa lagi jalur beda yang akan coba kujajaki? Ada ide?


*Foto dikereta-apikan dari www.freefoto.com