Rabu, 16 Juni 2010

Inspirasi Jalan Kaki dari Sepuh


Allah memang telah menggariskan semuanya. Tak ada yang namanya kebetulan. Diksi kita saja yang seringkali mengatakan, “Kebetulan aku lagi di sana…”, “Waktu itu aku lagi jalan sama dia. Kebetulan ada seseorang lewat…”, “Kebetulan dia yang mengajariku aritmatika saat SMP dulu…” dan berbagai kebetulan lainnya.

Saya sedang belajar untuk tidak mempercayai yang namanya kebetulan. Selalu ada alasan di balik semua kejadian. Kalau kau tidak menemukan alasannya, berharap saja untuk memungut hikmahnya. Setidaknya, itulah inti tulisan saya kali ini. Tentu saja, tetap dalam konteks berjalan kaki.

Pada hari Rabu, 9 Juni 2010, menjelang siang, saya ke Perpustakaan Pusat Kampus B. Berselancar maya di Ruang Publik lantai 1. Sekalian membaca-baca buku ‘Jerome Becomes A Genius’ karya Eran Katz. Saat masuk, saya sempatkan diri menengok papan informasi dan menemukan pamflet ‘Bincang Siang Bersama Wartawan Republika’. Saya sedikit abai, sebenarnya. Mengingat nanti sorenya ada kuliah Afrika dan berselancar maya saya memang bertujuan untuk mencari bahan bacaan mengenai topik yang akan dibahas. Tapi, bukan Fatah namanya jika tidak cukup impulsif dan bergegas mengikuti kata hati.

Acara yang menghadirkan Asep K. Nur Zaman – Pimpinan Perwakilan Republika untuk Jawa Timur – tersebut pun saya putuskan untuk mengikutinya. Ada beberapa alasan. Pertama, melihat antusiasme mahasiswa di Ruang Publik yang kurang terhadap acara tersebut. Mereka lebih asyik internetan juga diskusi – atau ngobrol nggak jelas? Kedua, saya pada dasarnya tertarik pada dunia jurnalistik dan bercita-cita menjadi seorang jurnalis, kelak jika lulus dari HI. Maka, acara semacam ini jelas cocok buat saya. Apalagi diadakan gratis, dapat sertifikat pula. Ketiga, saya waktu itu mengenakan kaos putih berkerah biru pemberian VOA Indonesia. Jadi, tepat sekali atmosfernya. Jurnalisme!

Setelah menunaikan shalat zuhur, pukul satu siang lebih sedikit, saya segera mengambil posisi lesehan paling depan. Persis di depan Pak Asep. Saat itu, hanya dua atau tiga gelintir mahasiswa saja yang saya temukan di meja sebelah saya. Padahal, saat mengisi lembaran registrasi, ada lebih dari lima belas orang yang mencatutkan namanya. Nyatanya, yang hadir hanya segelintir orang saja. Saya kurang tahu, apakah mereka yang bergerombol di meja-meja belakang juga adalah partisipan.

Baik, saya tidak akan berpanjang lebar mengenai isi bincang siang yang berdurasi satu jam tersebut. Namun, saya mendapatkan banyak ilmu, terlebih lagi mengenai koran nasional berbasis Islam tersebut. Mengenai sejarah pendiriannya, tawaran magang di Kantor Republika Perwakilan Jawa Timur, seluk-beluk profesi wartawan, kiat-kiat menjadi wartawan, dan sebagainya.

Nah, di akhir sesi, Pak Asep menjelaskan salah satu tips menjadi wartawan adalah selalu belajar pada senior. Beliau menyebutkan nama satu wartawan sepuh di Republika, yakni Pak Alwi Shihab. Pak Alwi ini berusia 90 tahun. Hingga saat ini – tuturan Pak Asep – beliau masih segar bugar, masih setia bertahan menjadi wartawan (penulis). Resepnya adalah “Beliau waktu muda suka jalan kaki. Kota Batavia telah dijelajahinya, masuk gang keluar gang. Beliau bahkan hafal gang mana yang tetap seperti sediakala, mana yang telah diubah.”

Sewaktu mendengar tuturan itu, saya terkesiap dan tersenyum bangga dalam hati. Bukankah saya memiliki satu kebiasaan yang sama dengan Pak Alwi Shihab? Saya pun berdoa semoga senantiasa sehat hingga usia tua nanti. Dan, tentu saja istiqomah dalam menulis. Amin Ya Robbal ‘Alamin.

Lihatlah. Saya tidak pernah berencana mengikuti bincang siang itu. Namun, saya yakin Allah menuntun saya ke perpustakaan. Menuntun saya melihat pamflet informasi bincang siang tersebut. Memantapkan hati saya untuk duduk manis dan bertanya-tanya antusias perihal dunia jurnalistik. Dan, siapa sangka jika saya akan mendapatkan informasi mengenai Alwi Shihab yang semenjak muda senang jalan-jalan kaki? Lalu, saya menuliskannya di blog ini?


*ilustrasi diboyong dari http://images.francisfrith.com/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar