(Sumber: Wikipedia)
“Jokowi
pencitraan! Dia cuma capres boneka! Sebenarnya yang mau jadi presiden itu siapa
sih? Jokowi apa Megawati?”
“Kebayang nggak kalo Indonesia dipimpin Prabowo? Rakyat bakal
dibodoh-bodohi! Aktivitas diculik. Orang yang protes akan ditangkap. Kita nggak
bakal bisa ngomong sebebas ini.”
Baca berita di halaman media online dan baca
komentar-komentarnya deh! Pasti akrab dengan kalimat-kalimat di atas. Belum
lagi di grup-grup diskusi di Facebook, misalnya. Atau, bahkan status teman-teman
di media sosial.
Bulan-bulan menjelang Pemilu 9 Juli, kita dibombardir
oleh berita-berita tentang capres. Pascapemilu pun sama. Beritanya masih
santer. Orang-orang pun berlomba-lomba jadi juru kampanye. Perang di media
sosial, khususnya, tak bisa dihindari. Panas rasanya. Padahal kita cuma
menghadapi layar ponsel, tablet, atau laptop. Tapi, emosi ini bergejolak. Orang-orang
turun tangan melakukan perang maya (cyber war). Masing-masing
menyuarakan opininya.
Kalau jeli mengamati, banyak bermunculan situs berita
abal-abal. Mereka terang-terangan mendukung salah satu calon presiden. Nada pemberitaannya
pun terkesan sadis. Menjelek-jelekkan kubu lawan. Tanpa jadi ahli atau pengamat
media pun, orang awam bisa merasakan nada keberpihakan itu.
Para pendukung calon presiden tertentu akan mencari dan
menyebarluaskan berita-berita yang menjelek-jelekkan lawan. Pendukung lawang
pun akan berusaha untuk menanggapi balik dengan menghadirkan informasi yang
diambil dari situs berita atau blog pribadi. Hawa panas benar-benar tak
terhindarkan.
Akibatnya bisa ditebak. Orang-orang saling bermusuhan. Gerah
dengan status-status tendensius teman di media sosial, seseorang sampai meng-unfriend
atau meng-unfollow temannya untuk sementara. “Daripada ikut emosi?” Demikian
alasannya.
Ada orang-orang yang kedamaiannya terusik. Ia menyamankan
dirinya dengan cara itu.
Tapi, ada juga yang malah bersemangat untuk mengobarkan
kampanye negatif bahkan kampanye hitam di tengah-tengah jagad maya. Itu dilakukan
terang-terangan sekalipun oleh para figur publik, entah itu penulis, wartawan
senior, akademisi, juga artis. Yang penting mereka bersuara. Menyuarakan apa
yang mereka yakini sebagai kebenaran. Padahal banyak yang cuma bermodal tautan
berita online tanpa berusaha untuk skeptis, kritis, dan melakukan
kroscek.
Media memang ampuh untuk membentuk opini masyarakat. Itulah
sebab mengapa media dimanfaatkan oleh para politisi untuk memuluskan ambisi
kekuasaan mereka. Media yang dibayar itu pun akan membuat berbagai pemberitaan yang
mengangkat ‘sponsor’ mereka sekaligus menjegal langkah lawan. Maka,
berita-berita dengan nada tendensius pun berseliweran di laman media sosial
kita.
Akibatnya apa? Masyarakat kita yang belum benar-benar
melek media, belum terliterasi dengan baik, akhirnya terpecah-belah. Alih-alih
berdiskusi dengan pikiran terbuka, yang muncul malahan komentar-komentar
emosional. Pada awalnya kawan, bisa-bisa jadi lawan. Hanya gara-gara Pemilu.
Amat menyedihkan!
Hal ini mengingatkan saya pada peribahasa Sasak, bahasa
yang saya pakai sehari-hari di rumah, “Banteng belaga jerami rebaq”. Terjemahan
bebasnya adalah banteng yang berlaga di tengah-tengah sawah menyebabkan jerami
rebah dan patah. Secara maknawiah, peribahasa itu merujuk pada para politisi
yang berkontestasi dan cenderung menyebabkan orang-orang di bawah mereka
sebagai korban.
Dalam
konteks ini, banteng mewakili politisi. Jerami adalah rakyat. Para politisi
berlaga, rakyat yang menderita dan sengsara. Rakyat menderita secara psikisi. Mereka
bingung, emosional, marah, sedih, campur aduk jadi satu.
Alih-alih berkompetisi secara sehat, elegan, dan cerdas
sehingga memberikan pendidikan politik bagi rakyat. Ini tidak. Para politisi
lewat sepak terjang mereka di media menunjukkan cara berpolitik yang tidak
anggun dan mencerdaskan rakyat.
Banteng belaga jerami rebaq ini yang jadi kalimat
bijak di kalangan masyarakat Sasak, Lombok, tak hanya cocok merefleksikan apa
yang terjadi belakangan ini di pentas nasional. Tapi, dalam lingkup sosial apa
pun, kita akan mudah menemukannya. Di keluarga, perselisihan orangtua,
misalnya. Di kantor, konflik antarmanajer, misalnya. Di organisasi,
perselisihan antarketua divisi, contohnya. Di sidang PBB, perselisihan
antarkepala negara, contohnya.
Peribahasa ini kiranya bisa menjadi refleksi bagi para
politis pun pemimpin. Mereka sebagai banteng sebenarnya punya pilihan untuk
menjadi banteng seperti apa. Apakah tetap berlaga di sawah berjerami dan menginjak-injaknya
ataukah mencari arena lain yang cuma berumput saja atau tanah kosong sama
sekali? Biar tak ada korban?
Hidup itu bukan pilihan. Hidup itu memilih. Kelak ketika
Anda ditakdirkan di posisi banteng, arena laga seperti apa yang Anda pakai?
Bagaimana cara Anda berlaga?
Pilihan-pilihan
terbentang. Tinggal Anda hendak memilih yang mana. Termasuk memilih kearifan lokal yang terkandung dalam budaya dan bahasa daerah kita masing-masing.
*Tulisan ini disertakan dalam kontes GA Sadar Hati – Bahasa Daerah Harus Diminati
Tidak ada komentar:
Posting Komentar